Langsung ke konten utama

Allah tidak akan memberimu kelebihan dan kekurangan atas dasar yang salah


Di rumah, sebagai anak kedua dari tiga, aku tidak merasa dipalingkan selama ini. Bukan cemburu atau melugu. Aku justru sangat menikmatinya. Ada yang lebih membahagiakan dari merasa dipunyai oleh Ayah yang super lucu dan tidak jarang seperti layaknya Mario Teguh di rumah, Ibu yang cantik dan baik serta pintar memasak, Kakak yang baiknya waktu kecil suka beliin aku kepompong dan gedenya bisa beliin aku sepatu, dan Adik yang--actually--lebih sering menyebalkan tapi ramenya ngangenin?

Kami tiga bersaudara perempuan semua. Aku yakin ini mungkin konspirasi atas dasar Ibu itu satu-satunya putri mbah dari keenam saudara laki-lakinya. Somehow, Allah itu maha adil. Pun untuk memberi peneman kaum hawa untuk Ibu dan membuat Ayah jadi manusia paling ganteng di rumah.
Soal orang tua kami yang berlatar belakang orang pendidikan, yakinlah itu tidak membuat kami bertiga selalu menjadi juara kelas disetiap semester nilai keluar. Ketiga dari kami punya jarak umur yang hampir sama, jenjang sekolah yang nyaris sama semua, sampai ukiran sejarah prestasi di sekolah yang sama pun hampir sama. Bahkan sampai guru SD dulu hafal urut-urutan ketiga nama kami yang pun mirip di kata depannya.
Sebagai anak sulung,--dalam pandanganku pribadi--Kakak lebih dari kami, kedua adiknya. Lebih tinggi, lebih sedikit rankingnya, lebih tebal rambutnya, dan lebih cepat lulus. #yaiyalah #dilemparsendal Sedangkan aku, menurun dari itu beberapa nomor, rambut tak serupa, lulus empat tahun lebih lambat. Adikku, tidak lebih sedikit rankingnya, lebih banyak rambutnya, lulus lima tahun lebih lambat lagi dariku. Selain itu, kami berbeda dalam banyak hal.
Kakak, waktu SD eksis jadi mayoret drumband sekolahnya. Lomba nyanyi. Pramuka. SMP nggak ikut organisasi apapun. Ikut tim basket dan berakhir 'pegang bola' waktu SMA. Sempat struggle buat masuk pesantren dan udah keterima tapi nggak jadi dimasukin. Masuk kuliah di jurusan yang sebenarnya kurang diminati secara pribadi tapi kampretnya bisa lulus cepet.
Aku? Waktu SD ikut dieksiskan semirip kakak. Lebih eksis di Pramuka sampai ke tingkat Daerah. SMP nyobain OSIS. Ikut tim basket dan masih 'pegang bola' sampai detik ini. Ngga ditawarin masuk ke pesantren atau akunya yang emang nggak dilirik buat ditawarin masuk pesantren, entahlah. Masuk kuliah di jurusan yang Ibu minati. Eh. Engga. Masuk kuliah di jurusan yang diambil sama Tante dulu dan memberhasilkan beliau jadi PNS sekarang. Yak.
Adik, sama dieksiskannya waktu SD. Pramuka. SMP jadi OSIS dadakan. Iya, dadakan. Entah karena waktu MOS dia jadi ratunya atau karena aspek lain. Dia ngga bisa pegang bola basket tapi bisa menaklukan air di kolam. Berenang tapi ngga ditekuni sampai sekarang. Sayang. Belum milih jurusan. Dia masih ke pakai rok biru tua. Sebelum itu pingin dan ditawarin banget masuk pesantren tapi ngga keterima. Yaudah.
Anyway, kami tetap berusaha mengikuti semua aturan anak-anak Indonesia jaman sekarang. Seperti bangun tidur dan sholat subuh tepat waktu, bantuin Ibu di dapur, ngga telat berangkat sekolah, fokus dengerin guru, ngerjain PR, rajin belajar, nggak nyontek, punya banyak temen, duit jajan ngga defisit, sedikit main, makan tepat waktu, tidur siang, dan sebagainya, dan sebagainya. Kalau itu semua benar-benar sebuah aturan dan kami harus menjalaninya dengan baik dan benar, aku yakin Ayah Ibu akan sangat senang punya anak-anak yang selain cantik juga membahagiakan perlakuan. Tapi, do you know? Ayah Ibu akan lebih sangat senang punya kami yang seperti ini..
Ayah pernah bilang di suatu kesempatan,"Ayah nggak minta kamu ranking 1, Ayah nggak minta kamu bisa ikut olimpiade, Ayah nggak minta kamu jadi kapten. Yang penting kamu seneng, ngerti yang kamu mau dan butuhin, dan nggak nyusahin itu udah lebih dari cukup. Kamu seneng semua ikut seneng, Inshaallah."
Disisi lain aku pernah dengar cerita teman tentang suatu pidato kelulusan yang disampaikan oleh yang mendapatkan nilai terbaik. Anak itu mengatakan kalau,"...seharusnya aku senang berada di atas mimbar ini dan berbicara di depan kalian. Tapi aku justru takut. Selama ini aku hanya fokus mengikuti aturan yang ada. Selama ini aku hanya rajin menekuni aturan yang ada. Ketika yang lain menjalani hobinya, aku hanya fokus belajar. Ketika yang lain menekuni yang mereka suka, aku hanya fokus pada tugas-tugas yang ada. Karena itu aku takut. Sangat takut..,"
Dunno why, aku suka kutipan-kutipan di atas. Bukan karena aku yang tidak bisa menjadi paling pintar dari teman-teman, tapi lebih karena yang mendukungku tetap bukan tidak mau tau bagaimana aku harus bisa. Kata Ayah lagi, jadilah orang yang seimbang. Tidak hanya membahagiakan di dalam, tapi juga membuat senang di luar. Tidak hanya membuat beda yang menghasilkan, tapi juga melebihbaikkan. Kalau aku sendiri di akademik tidak lebih dari yang lain, aku coba tetap terus berusaha untuk lebih di luar itu--dengan tidak mengabaikannya. Soal bagaimana hasilnya tidak perlu dikhawatirkan. Karena khawatir tidak membawamu pergi ke kedua kemungkinan yang dipikir oleh kekhawatiran itu, berpikir positiflah mulai sekarang. Just do your best. Ngga ada yang bisa ngalahin pikiran sehat yang positif dari seorang pejuang mimpi sekeren kamu! :)
At least, every child is special. Dari sini aku belajar, segimanapun kita lebih sering membandingkan mana yang pintar dan yang tidak, mana yang berbakat dan yang tidak, mana yang beruntung dan yang tidak, Allah tidak akan memberimu kelebihan dan kekurangan atas dasar yang salah. Bagaimanapun semesta menghadiahimu dengan berjuta mimpi untuk menjadi yang lebih baik dari yang terbaik dari dirimu, tetaplah menjadi apa wujud imajinasi yang kamu punya. Bukan mengintimidasi untuk tetap pada dirimu, tetapi cobalah untuk melihat sekitar bagaimana kamu bisa menentukan yang baik dan bisa dengan yang baik tapi belum bisa maupun yang tidak baik dan juga tidak bisa diambil.
Aku boleh saja mencelakai adrenalinku untuk memaksa memilih yang tidak bisa aku kuasai betul lantas tidak menjadi goal disitu. Disisi lain pun aku boleh membiarkan raga ini tetap ada di zona nyaman dan tidak berpeluang apa-apa. Intinya sih sadar diri dan realistis aja. Kalau kamu punya passion dan percaya kamu bisa, ya lakukan. Kalau engga, ya jangan dulu ambil langkah mundur juga. Cobalah selagi itu tidak menyiksa otak, spriritual dan emosi kamu.
Saat semua terasa membuatmu seperti tidak bisa apa-apa, ingat, ada aspek lain yang bisa buatmu jadi apa-apa. Don't worry, and just do your best.
Regards :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Mahasiswa Sehat dari Masyarakat

Mahasiswa bukan hanya kata ‘maha’ di depan kata ‘siswa’. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan rakyat biasa, bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat. Karena kedudukannya, mahasiswa sendiri menjadi memiliki banyak peran dalam kehidupan bermasyarakat, tidak terlepas dari bidang mereka masing-masing.

Navigasi

Senin yang ceritanya long weekend kemarin, aku dan bapake bertandang ke suatu tempat untuk tujuan tertentu. Ceritanya dapet kontak orang yang mau dituju di instagram nih. Yaudah aku hubungi lah dia. Setelah menceritakan maksud dan tujuan aku ingin berkunjung, si mbak yang menerima respon kontak memberikan infomasi arah ke alamat tujuan. Ceritanya di bio instagram dia udah ada info lokasi. Tapi cuma nama kecamatannya doang. Kutanya, sebelah mananya ya mba? Beliau bilang, "kalau dari arah kota perempatan pasar belok kiri, mba. nanti ketemu pertigaan, belok kiri lagi. Lurus aja terus nanti mentok nah itu rumahnya pas mentok jalan. Namanya mas ini" Oke, kita ikuti..

Ngeluh sama kerjaan?

Saat itu di suatu pagi dimana aku dapet panggilan wawancara di salah satu kantor cabang BUMN di kota perantauan waktu kuliah, banyak hal yang aku yakini itu skenario epic dari Allah terjadi. Jadwal wawancara jam 10 pagi. Karena waktu tempuh yang lumayan, aku berangkat dari rumah jam 7.30. Jelas sesampai di kota tujuan waktu untuk tiba di kantor masih longgar sekali. Setelah menyelesaikan urusan kekurangan pritilan berkas yang harus dibawa, aku mampir ke satu masjid favorit jaman kuliah. Masih jam 9 kurang sekian menit ketika setelah mengambil air wudhu aku masuk ke pintu jamaah putri. Ada sekitar 3 orang perempuan di dalam. Salah satunya ada di dekat tempatku sholat, sedang melantunkan ayat suci. Ketika selesai ritual dhuha, aku mundur menyenderkan bahu ke tembok belakang. Sambil membenarkan posisi kerudung, mbak-mbak yang baru saja selesai ngaji itu menyapaku, "Kerja dimana mba?".