Suatu hari, suami (yang waktu itu masih jadi calon suami) pernah bilang kalau ia punya cita-cita untuk tidak mau pensiun di dunia perbankan. Hal ini jadi bahan diskusi kami sebelum menikah. Dan aku menyetujuinya saja, tanpa embel-embel kekhawatiran. Meskipun dia sedikit kaget kenapa aku nggakpapa. Kayak "beneran nih cewek mau diajak susah setelah bisa dikasih nafkah lebih dari cukup?" Hahaha. Setelah menikah, dengan kondisi kami berdua sama-sama bekerja, semua berjalan biasa saja. Sampai aku hamil, melahirkan, dan berputar menjadi ibu rumah tangga. Keluarga kami mengalami transisi pertama. Punya anak, dan hanya punya aliran pemasukan dana dari suami saja. Alhamdulillah, Allah sangat sayang dengan keluarga kami. Sungguh tak kurang sedikitpun rejeki yang kami terima. Hanya, ritmenya saja yang berbeda. Yaaa gimana ya dari aku yang tiap pagi ribet di dapur dan depan kaca buat siapin sarapan suami pun siap-siap ke kantor, terus berubah ke ngurus ompol bayi, begadang setiap malam,
Rasanya semakin kesini semakin jarang baca buku terlebih menulis, ketika sekalinya buka blog trus jadi susaaaah banget menuangkan tulisan. Apalagi kalau lagi pegang blog puskesmas. Doh! Bahasaku kayak anak SMP lagi dikasih tugas bikin artikel :( Rasanya pengen mulai lagi, belajar lagi, kebiasaan baca lagi.. tapi belum-belum udah habis waktunya buat hal primer lain. Menjadi ibu bekerja itu bener-bener jadi ibu bekerja. Tau nggak? Setelah 9-5 (walaupun kenyataan ya 8-3 aja sih) sampe rumah masih kerja lagi. It means ngurus anak, ngurus suami, ngurus rumah. Meskipun ada ART yang datang pagi pulang sore tapi pasti ada aja yakan yang dikerjain. But it's really fun for me. Kecuali setelah itu pasti ada rasa bersalah kalau melewatkan me time. Kalau di kantor gini belum baca materi yang mau buat penyuluhan merasa berdosa deh. Soalnya lama ngga kerja, ngga ada ilmu baru yang terserap. Apalagi pandemi bener-bener bikin semuanya baru. Jadi yang ada jiwa pemikir ini kebanyakan duduk di depan l