Langsung ke konten utama

Perjalanan

Memaknai perjalanan seringkali dilupakan banyak orang. Saya sendiri lebih suka menikmati tiap arah dan tujuan perjalanan dengan diam dan memasang headset lalu tidur, mengobrol jika ada teman, atau paling pol melamun sambil mata terlempar keluar jendela mobil. Sampai pada usia sudah mengharuskan untuk merantau ke kota tetangga, dan diseringkan pada rutinitas pulang kampung pada hampir di setiap masa kosong hari kuliah, saya jadi mempunyai banyak kesan kesiratan makna dari sebuah perjalanan.


Tentang waktu. Saya seringkali mencemburui hal ini. Padahal dimata teman-teman saya terbalik. Mungkin saya memang harus terus bersyukur setiap saat atas jatuhnya kesempatan pulang saya yang sangat bisa diterjang kapan saja dan dengan apa saja. Jarak rumah ke Purwokerto, kota tempat saya kuliah, tidak lebih dari dua jam perjalanan. Bus kota hampir selalu tersedia dari subuh hingga malam. Pun saya dibekali kendaraan bermotor sendiri. Kurang apa lagi?
Dari rentang waktu yang ada, saya pernah mengajaknya sedikit bermusuhan. Pernah suatu pagi saya ngebut naik motor dari kos pulang ke rumah hanya untuk mengambil obat yang ketinggalan di rumah (waktu itu saya baru sembuh sakit) dan binder untuk catatan kuliah yang juga tertinggal. Berangkat sekitar pukul 06.45 dan sampai rumah tepat pukul delapan. Setelah mengemasi barang yang tertinggal, saya sempat ambil sarapan dan lalu langsung ngebut lagi ke Purwokerto. Hari itu kuliah mulai pukul 10.00 pagi. Tepat di 09.30 dengan cantik saya sudah sampai di kampus. Ayah hanya berucap 'Masya Allah' ketika saya menceritakan ini. Teman saya lebih-lebih heran dan 'mencak-mencak', karena pasalnya malam sebelum itu kami keluar menonton konser dan pulang lewat tengah malam. Haha!
Dan karena waktu, saya lebih bersyukur. Bahwa yang tadinya saya menganggap kuliah tidak jauh dari rumah itu tidak keren, sekarang saya menganggap kuliah dekat dari rumah itu bahagia yang sederhana. :)

Tentang arah dan tujuan. Pernah terfikir untuk memikirkan arah dan tujuan perjalanan orang lain ketika sedang dalam perjalanan yang tidak dengan kendaraan pribadi? Saya sering. Setidaknya setelah mulai sering sendirian bolak-balik terminal, sendirian antri pesan tiket kereta, atau sekedar sendirian naik angkot. Entah kenapa saya suka memperhatikan dan menerka-nerka orang-orang yang ada di bus atau kereta yang saya tumpangi. Baru saja kemarin saya bersebelahan dengan seorang lelaki tua yang kami sempat mengobrol dengan prolog beliau menanyakan jam pada saya yang kebetulan memakai jam tangan. Beliau agak bergumam kesal begini,'masa sampai rumah pasti siang banget gini, ya'. Menurut penuturannya, hampir setiap pulang kerja dia nyaris pulang telat dan diprotes anaknya. Katanya anaknya kepengen makan siang bareng sama bapaknya sebelum dia ngantuk lantas tidur siang. What a worth trip,dude~
Atau ketika saya ada di dalam kereta dari Solo menuju Jogja minggu kemarin untuk menghadiri acara 4 bulanan hamilnya kakak saya, sebelah saya adalah seorang perempuan umur-umur kuliah akhir. Kami tidak sempat larut dalam percakapan, hanya bertukar sapa dan bertanya kemana tujuan kita. Perempuan itu sibuk dengan handphonenya sepanjang perjalanan. Disela itu disempatkannya melirik sebendel kertas yang saya taksir itu sebuah skripsi. Ah, saya yakin dia pasti sedang hecticnya mengurusi skripsi itu. The power of bagaimana teman sebuah perjalananmu begitu berbeda atmosfer..
Kadang kita tidak peduli tentang apa yang ada di sebelah pada saat jalanan, arah, dan tujuan masing-masing orang sedang bergerak. Atau bahkan sering tidak mau tau. Padahal hey kau nak, dengan mengerti bahwa setiap orang mempunyai arah, tujuan dan perjuangannya masing-masing setidaknya kita bisa lebih mudah untuk meredakan emosi di jalan yang kadang membuat tidak nyaman. Semacam bosan lah, ngantuk lah, rasa ingin cepat sampai, atau kecemasan terhadap diri sendiri lainnya. Bahwa setiap orang punya urusannya masing-masing, dan tidak semua orang punya tujuan dan arah yang sama. Bahwa tidak semua orang pun mau mengerti apa yang kau keluhkan tentang perjalananmu. Atau mungkin tidak semua orang merasa lebih baik atau lebih buruk darimu. Maka hargailah.

Tentang cela. Pernah merasa kenapa-kenapa ketika kita lupa memanjatkan doa sebelum perjalanan? Atau menjadi yang tidak fokus pada tujuan lalu mendapatkan cobaan?Saya pernah. Sering palah. Sewaktu SMA, saya pernah mengalami kecelakaan konyol yaitu menabrak plang pembatas jalan. Saat itu saya mengendarai motorbersama teman yang membonceng di belakang. Yang saya ingat saat itu kepala saya sedang banyak isinya; lepas kalah 3on3 basket, sie. usaha dana HUT sekolah, kacamata pecah. Kejadian malam itu jelaslah saya mengendarai motor tanpa kacamata dan agak melamun. Saya lupa kalau di jalan daerah Semampir (Banjarnegara) ada perbaikan jalan dan ada plang untuk pembatas. Lantaran lampu jalan yang kurang terang dan keadaan saya yang seperti demikian, saya kaget begitu lampu motor mendekat plang lalu dengan cepat menabrak dan saya terjatuh tertindih motor. Beruntung teman saya di belakang langsung loncat ketika tau saya menabrak plang sialan itu. Alhasil jins saya bolong, bibir saya berdarah, tangan saya lecet-lecet. Sampai sekarang lutut saya membekaskan keloid yang menjadi kenang-kenangan kejadian 3 tahun lebih lalu itu. Valuenya adalah, jangan lupa berdoa dan jangan memendam pikiran lain ketika perjalanan. Nanti celaka :')
Hal lain yang pernah kena cela lagi adalah.. ketika berangkat ke Purwokerto dari rumah lepas liburan semester ganjil setahun lalu. Baru sampai Purbalingga handphone yang saya taruh saku jaket jatuh berkeping-keping di tengah jalan raya. Untungnya ada orang yang mau menolong mengambil bagiannya di tengah jalan. Selepas handphone jatuh ternyata masih ada lagi. Selang sekitar 3km dari tkp itu, ada tilangan polisi. Eh, hey tunggu.. saya lupa ini merupakan cela atau bahagia. Karena kenyataannya saya malah senang ketika memamerkan SIM C saya kepada pak polisi. Baru bikin dan belum pernah ditilang, sih. Haha!
Cela terbaru adalah kemarin.. dasar motor tidak panas selama seminggu karena ditinggal ke Solo, kemarin pulang ke rumah motor sempat tiba-tiba mati di tengah jalan. Baik kalau di tengah jalan besar dan banyak orang, tapi ini mati ditengah jalan yang pinggirannya sawah membentang dan cuma ada kakek tua naik sepeda di pinggir tempat pembuatan bata. Tapi saya tenang saja. Tenang sambil menanyakan dimana bengkel terdekat pada bapak-bapak yang lewat. Tenang sampai ada bapak tukang becak lewat dan membantu meng-slah motor saya sampai akhirnya bisa menyala kembali. Huray! Mungkin tukang becak itu malaikat.

Tentang perjalanan.. terimakasih pelajarannya. Bagaimanapun, kebersyukuran itu memang bisa datang dari mana saja. Semoga saya akan lebih dapat cerita lain dari perjalanan lain di hari lain. Amin. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Mahasiswa Sehat dari Masyarakat

Mahasiswa bukan hanya kata ‘maha’ di depan kata ‘siswa’. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan rakyat biasa, bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat. Karena kedudukannya, mahasiswa sendiri menjadi memiliki banyak peran dalam kehidupan bermasyarakat, tidak terlepas dari bidang mereka masing-masing.

Navigasi

Senin yang ceritanya long weekend kemarin, aku dan bapake bertandang ke suatu tempat untuk tujuan tertentu. Ceritanya dapet kontak orang yang mau dituju di instagram nih. Yaudah aku hubungi lah dia. Setelah menceritakan maksud dan tujuan aku ingin berkunjung, si mbak yang menerima respon kontak memberikan infomasi arah ke alamat tujuan. Ceritanya di bio instagram dia udah ada info lokasi. Tapi cuma nama kecamatannya doang. Kutanya, sebelah mananya ya mba? Beliau bilang, "kalau dari arah kota perempatan pasar belok kiri, mba. nanti ketemu pertigaan, belok kiri lagi. Lurus aja terus nanti mentok nah itu rumahnya pas mentok jalan. Namanya mas ini" Oke, kita ikuti..

Ngeluh sama kerjaan?

Saat itu di suatu pagi dimana aku dapet panggilan wawancara di salah satu kantor cabang BUMN di kota perantauan waktu kuliah, banyak hal yang aku yakini itu skenario epic dari Allah terjadi. Jadwal wawancara jam 10 pagi. Karena waktu tempuh yang lumayan, aku berangkat dari rumah jam 7.30. Jelas sesampai di kota tujuan waktu untuk tiba di kantor masih longgar sekali. Setelah menyelesaikan urusan kekurangan pritilan berkas yang harus dibawa, aku mampir ke satu masjid favorit jaman kuliah. Masih jam 9 kurang sekian menit ketika setelah mengambil air wudhu aku masuk ke pintu jamaah putri. Ada sekitar 3 orang perempuan di dalam. Salah satunya ada di dekat tempatku sholat, sedang melantunkan ayat suci. Ketika selesai ritual dhuha, aku mundur menyenderkan bahu ke tembok belakang. Sambil membenarkan posisi kerudung, mbak-mbak yang baru saja selesai ngaji itu menyapaku, "Kerja dimana mba?".