Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau atau Framework Convention of Tobacco Control
(FCTC) yang diadopsi pada Sidang majelis WHO pada tahun 2003, telah diratifikasi lebih dari 160
negara di dunia. Disela gelora semangat negara-negara tersebut untuk melindungi
warganya dari ancaman tembakau terlihat terlalu ironis jika Indonesia saat ini
masih menjadi satu-satunya negara Asia yang belum menandatangani FCTC. Padahal
dalam konvensi WHO di atas Indonesia ikut mengirimkan delegasinya.
Industri tembakau hanya memberikan
kontribusi sebesar satu persen dari total output
nasional dan menduduki peringkat ke-34. Sementara itu, dari sumbangan
terhadap lapangan kerja pada tahun yang sama (2007), industri rokok hanya
menduduki peringkat ke-48, sedangkan pertanian tembakau menduduki peringkat
ke-30 di antara 66 sektor.
Secara nasional, jumlah tenaga kerja
industri tembakau dan petani cengkeh kurang dari 2% dari jumlah pekerja di
semua sektor. Sementara itu, dari upah yang diterima, pekerja industri tembakau
menduduki peringkat ke-37 dengan rata-rata upah Rp 662.000,00 per bulan. Upah
tersebut sama sekali tidak menjamin mobilitas vertikal ekonomi buruh karena
hanya cukup untuk biaya makan. Seharusnya, terdapat studi lebih lanjut untuk
melihat berapa belanja iklan perusahaan dibandingkan dengan biaya untuk upah
buruh.
Sementara itu, petani tembakau
pendapatannya lebih rendah lagi, yaitu Rp 81.397,00 per bulan. Dari upah yang
sangat rendah tersebut dapat diketahui bahwa petani tembakau dari zaman Belanda
hingga sekarang relatif stagnan status ekonominya, selalu dalam kemiskinan
struktural.
Sekarang dari sisi penerimaan negara
dari cukai rokok. Dengan menerapkan cukai rokok sebesar 37%, Indonesia masuk
dalam kategori terendah nomor dua dalam hal cukai, hanya lebih tinggi sedikit
dari Kamboja yang mematok 20%. Sementara itu, Undang Undang Cukai Indonesia
menetapkan batas cukai maksimal sebesar 57%, sedangkan rata-rata cukai global
adalah 65%, artinya dengan cukai maksimal di Indonesia masih berada di bawah
rata-rata global. Bandingkan dengan Thailand yang sudah memasang cukai sebesar
63% atau Singapura yang bercukai hampir 90%.
Dari studi tersebut dapat dilihat bahwa
industri rokok bukanlah industri yang secara signifikan dapat menyejahterakan
rakyat Indonesia. Bahkan, pertumbuhan industri rokok tersebut harus dibayar
mahal oleh rakyat Indonesia, berupa semakin tingginya biaya kesehatan
masyarakat dengan perkiraan mencapai Rp 81 triliun per tahun (TSCSC IAKMI UI). Dari
pembahasan di atas jugalah sudah jelas seharusnya Indonesia peka. Sebagai
negara dengan penduduk yang tidak sedikit dan mayoritas perokok, Indonesia akan
sangat lebih menyedihkan jika membiarkan dirinya tidak memiliki kebijakan apik untuk mengatasi permasalahan ini.
Dalam lingkup regional, dukungan bisa
diwujudkan dengan cara pengadvokasian kepada lini atas terdekat kita dalam hal
perwujudan kawasan tanpa rokok. Paparan asap rokok telah terbukti secara ilmiah
menyebabkan kematian, penyakit dan kecacatan. FCTC dalam Pasal 8 mensyaratkan
seluruh negara peserta untuk mengambil langkah-langkah efektif dalam melindungi
bukan perokok (perokok pasif) dari asap rokok di ruang publik, termasuk tempat-tempat
kerja, kendaraan umum, serta ruangan-ruangan publik lainnya. Langkah efektif
dalam melindungi bukan perokok adalah dengan menerapkan Kawasan Tanpa Rokok
(KTR) secara total.
Peraturan di lingkup daerah tentang
Kawasan Tanpa Rokok menjadi goal rata-rata
daerah di Indoesia saat ini dalam upaya melindungi kesehatan masyarakatnya.
Sebagian masyarakat Indonesia, khususnya para penggerak advokasi kebijakan ini,
percaya bahwa hal kecil yang dimulai dari daerah mereka masing-masing akan
dapat memberikan dampak bagi Indonesia secara nyata untuk mengendalikan laju
tembakau. Banyumas sendiri masih dalam tahap proses pengadvokasian oleh
pihak-pihak yang mendukung adanya KTR ini seperti mahasiswa dan sedang
melakukan proses perumusan Peraturan Bupati tentang KTR oleh pihak Dinas
Kesehatan Kabupaten Banyumas. Menghadapi Hari Tanpa Tembakau Sedunia, harapan
besar semoga Banyumas Sehat Tanpa Rokok akan segera terwujud diikuti dengan
diaksesinya FCTC oleh Indonesia dalam waktu dekat. (ara,27/05)
Amidiana
Araminta A. (G1B012019)
Komentar
Posting Komentar