2012 adalah tahun dimana ada satu hari yang sama aku baru mulai masuk kuliah dan kakak wisuda. Sungguh kebanggaan untuk Ibu dan Bapak di sisi sukses mengukur ketepatan menjaga jarak kelahiran sampai waktu tempuh pendidikan kami, anak-anaknya. Begitupun setelah 4 tahun berselang, 2016 aku lulus kuliah, 2017 adik gantian mulai masuk kuliah. Alhamdulillah wasyukurilah, kami masih diberi kesempatan untuk merambah titik ini.
Kalau dilihat dari waktu tempuh tahunan itu, kami memiliki kesempatan yang sama. Untuk 'merantau', mencari ilmu, memenuhi doa Ibu. Tapi kalau dilihat dari arah tujuan kota, kami sungguh berbeda. Oke ralat, aku, bukan kami. Kakak memilih untuk mengambil kesempatannya di Teknik Informatika UNY. Ya, siapa yang tidak tertarik untuk sekolah di Yogyakarta? Walaupun tidak begitu sesuai dengan keinginan jurusannya, Mbak Eya--begitu kumemanggilnya sedari kecil--lancar jaya lulus tepat waktu dari kampus pendidikan itu.
Ais, si adik yang baru kemarin begitu excited-nya menceritakan keseruan orientasi kampusnya, juga sama. Sama-sama terjun ke kota gudeg. Komunikasi Penyiaran Islam UMY menjadi jajakannya sekarang. Beruntungnya, ini dia masuk ke jurusan yang emang dipengen, dan kota yang... yah, gimana yah. Undescribable. Saking entah mengapa seneng banget kesitu. Meski semakin kesini semakin macet.
Aku sendiri.. yang dulu, kalau nggak salah sampai semester 3an kalau ditanyain kenapa masuk Kesehatan Masyarakat UNSOED? Jawabannya pasti; doa ibu. Sampai buat cengar-cengir senior waktu ospek. Kesel sendiri tapi aku jawabnya mantap. Hahaha. Dulu aku terlalu ambisi untuk masuk Farmasi UGM. Nggak mau selain itu. Ambil 'cadangan' pun tetap Farmasi, tapi di UMP. Dengan dalih akreditasi dan kualifikasinya lebih dari yang kami list untuk diprioritaskan. Long story short, waktu tes SNMPTN tulis (sekarang SBMPTN) pilihan kedua jadi Kesehatan Masyarakat UNSOED. Begitu pengumuman yang terpampang pilihan kedua itu. Nangis. Serius nangis. Abis itu dipeluk Ibu. Langsung diajakin nonton konsernya Jikustik.
Sempet yang bikin kesel waktu itu adalah, kalimat kenapa Purwokerto siiih itu kedeketan dari rumah! terus terngiang di kepala. Jadi keinget dulu waktu mau daftar SMA aku sempet minta daftar SMA 2 Purwokerto. Tapi kata Ibu, "Banjar aja lah, kasian Ais sendirian.."
Dari situ aku mulai menangkap sinyal. Sempat memilih ingin kuliah di Bandung lah, Bogor lah, Depok lah, Semarang lah, kata Ibu... "jangan jauh-jauh lah nduk,"
Aku pikir waktu itu beneran cuma nasihat lewat aja. Tapi setelah proses terjalani dan aku mendapati hasilnya, omongan Ibu beneran jadi doa. Sejak aku pernah minta sekolah jauh, bahkan sampai sekarang tiap pagi sudah berangkatnya ke kantor bukan ke kampus lagi, aku paling nggak pernah jauh-jauh dari rumah.
Nggak cuma sekolah. Waktu semester 6, dimana SKS magang atau ada yang sering menyebutnya kerja praktek harus ditempuh. Setelah tahun kedua di kampus ikut kegiatan macem-macem (ini beneran untuk motivasi betah di kampus banget) jadi mulai kerasan, pantas lah kalau aku juga punya obsesi untuk belajar kerja di instansi yang wah? Jadilah kuajukan permohonan magang di Kemenkes. Wih gilak araminta mainnya jauh ye. Dengan segala macam argumen dan pencerahan macam penyuluhan di depan ibu-ibu PKK, ibuku percaya kalau aku punya cita-cita mulia belajar baik untuk magang di Kemenkes.
Dan...
Lolos pemirsa!
Iya, Kemenkes mengonfirmasi untuk 5 mahasiswa yang diajukan magang disana dipersilahkan sesuai konsentrasinya masing-masing, including me. Tapi tiba-tiba Ibu berkata lain lagi...
"Jakarta lho, In... kamu mau bobo dimana? Temenmu siapa aja? Cewek semua ya? Macet lho. Madhange larang. Kamu kan kalau ke Jakarta nek liburan tok. Itu juga terakhir kapan.. Bla blalallalala..."
Sontak di depanku kayak ada tembok gede, yang tiba-tiba retak, terus roboh.
Akhirnya setelah berproses lagi, aku magang di Dinas Kesehatan Provinsi DIY. Satu setengah bulan disana udah pulang ada 4 x kali ya.
dan Ibu dengan lembut menjawab, "iya....."
Kalau dilihat dari waktu tempuh tahunan itu, kami memiliki kesempatan yang sama. Untuk 'merantau', mencari ilmu, memenuhi doa Ibu. Tapi kalau dilihat dari arah tujuan kota, kami sungguh berbeda. Oke ralat, aku, bukan kami. Kakak memilih untuk mengambil kesempatannya di Teknik Informatika UNY. Ya, siapa yang tidak tertarik untuk sekolah di Yogyakarta? Walaupun tidak begitu sesuai dengan keinginan jurusannya, Mbak Eya--begitu kumemanggilnya sedari kecil--lancar jaya lulus tepat waktu dari kampus pendidikan itu.
Ais, si adik yang baru kemarin begitu excited-nya menceritakan keseruan orientasi kampusnya, juga sama. Sama-sama terjun ke kota gudeg. Komunikasi Penyiaran Islam UMY menjadi jajakannya sekarang. Beruntungnya, ini dia masuk ke jurusan yang emang dipengen, dan kota yang... yah, gimana yah. Undescribable. Saking entah mengapa seneng banget kesitu. Meski semakin kesini semakin macet.
Aku sendiri.. yang dulu, kalau nggak salah sampai semester 3an kalau ditanyain kenapa masuk Kesehatan Masyarakat UNSOED? Jawabannya pasti; doa ibu. Sampai buat cengar-cengir senior waktu ospek. Kesel sendiri tapi aku jawabnya mantap. Hahaha. Dulu aku terlalu ambisi untuk masuk Farmasi UGM. Nggak mau selain itu. Ambil 'cadangan' pun tetap Farmasi, tapi di UMP. Dengan dalih akreditasi dan kualifikasinya lebih dari yang kami list untuk diprioritaskan. Long story short, waktu tes SNMPTN tulis (sekarang SBMPTN) pilihan kedua jadi Kesehatan Masyarakat UNSOED. Begitu pengumuman yang terpampang pilihan kedua itu. Nangis. Serius nangis. Abis itu dipeluk Ibu. Langsung diajakin nonton konsernya Jikustik.
Sempet yang bikin kesel waktu itu adalah, kalimat kenapa Purwokerto siiih itu kedeketan dari rumah! terus terngiang di kepala. Jadi keinget dulu waktu mau daftar SMA aku sempet minta daftar SMA 2 Purwokerto. Tapi kata Ibu, "Banjar aja lah, kasian Ais sendirian.."
Dari situ aku mulai menangkap sinyal. Sempat memilih ingin kuliah di Bandung lah, Bogor lah, Depok lah, Semarang lah, kata Ibu... "jangan jauh-jauh lah nduk,"
Aku pikir waktu itu beneran cuma nasihat lewat aja. Tapi setelah proses terjalani dan aku mendapati hasilnya, omongan Ibu beneran jadi doa. Sejak aku pernah minta sekolah jauh, bahkan sampai sekarang tiap pagi sudah berangkatnya ke kantor bukan ke kampus lagi, aku paling nggak pernah jauh-jauh dari rumah.
Nggak cuma sekolah. Waktu semester 6, dimana SKS magang atau ada yang sering menyebutnya kerja praktek harus ditempuh. Setelah tahun kedua di kampus ikut kegiatan macem-macem (ini beneran untuk motivasi betah di kampus banget) jadi mulai kerasan, pantas lah kalau aku juga punya obsesi untuk belajar kerja di instansi yang wah? Jadilah kuajukan permohonan magang di Kemenkes. Wih gilak araminta mainnya jauh ye. Dengan segala macam argumen dan pencerahan macam penyuluhan di depan ibu-ibu PKK, ibuku percaya kalau aku punya cita-cita mulia belajar baik untuk magang di Kemenkes.
Dan...
Lolos pemirsa!
Iya, Kemenkes mengonfirmasi untuk 5 mahasiswa yang diajukan magang disana dipersilahkan sesuai konsentrasinya masing-masing, including me. Tapi tiba-tiba Ibu berkata lain lagi...
"Jakarta lho, In... kamu mau bobo dimana? Temenmu siapa aja? Cewek semua ya? Macet lho. Madhange larang. Kamu kan kalau ke Jakarta nek liburan tok. Itu juga terakhir kapan.. Bla blalallalala..."
Sontak di depanku kayak ada tembok gede, yang tiba-tiba retak, terus roboh.
Akhirnya setelah berproses lagi, aku magang di Dinas Kesehatan Provinsi DIY. Satu setengah bulan disana udah pulang ada 4 x kali ya.
***
Setelah menuntaskan kuliah yang huft ternyata beneran nggak kayak di FTV itu, dimulailah petualangan. Walaupun sudah mencoba mencari peruntungan rejeki dari siaran radio dan buka lapak via @djuragan.maryam, jelas diri ini masih ingin mencoba-coba untuk memanfaatkan ilmu dan gelar yang sudah di raih dong yah. Follow semua akun lowongan kerja, bikin akun-akun buat apply kerjaan, liat jadwal jobfair, mantengin grup angkatan yang dulu jadi sumber info tugas kuliah sekarang jadi grup lowongan kerja...
Entah kebetulan atau apa, nyaris semua lamaran yang aku tujukan di instansi yang diluar area karesidenan Banyumas (batas kekhawatiran Ibunda) nggak ada yang dipanggil. Tapi begitu yang deket-deket gitu lancar jaya tiba-tiba ada panggilan aja. Alhamdulillah. Terhitung hanya sebulan dari setelah wisuda aku sudah jadi 9-5 person.
Sekarang, setelah si adik di Jogja, kakak juga di kota yang sama, aku tetap di rumah jadi anak tunggal. Bedanya sekarang satu rumah kalau hari senin seragamnya samaan. Aku bukan anak-anak lagi, kata ibu waktu aku nyobain baju keki (PDH) dan ngeluh "yah jadi kayak ibu-ibu"
Begitu mendewasa aku sadar. Kalau bukan aku yang emang ditahan-tahan ibu buat nggak jauh-jauh, detik ini yang Ibu suruh-suruh nyapu rumah pagi sore siapa? Yang dimintai tolong manasin mobil kalau pagi siapa? Yang ngajak ngobrol lepas tadarus siapa? Yang ngulek sambel siapa? Yang nemenin belanja siapa? Yang kalau Bapak Ibu capek siapa yang nyetirin? Yang kalau Ibu nggak di rumah siapa yang masakin nasi goreng buat sarapan?
Sampai keinginan untuk merantau jauh lagi--meski masih selalu ada--jadi berkurang. Kita semakin besar dan banyak keinginan, Bapak Ibu semakin tua dan (lagi-lagi) entah kenapa jadi sering diceletukin "sekian tahun lagi Bapak pensiun.. sekian tahun lagi baru Ibu,". Jadi, aku rasa memang harus ada pemakluman dari segala hal yang tidak bisa kita kendalikan. Allah selalu punya kuasa rencana dan keputusan apapun yang kita tidak tau titiknya. Mungkin semua doa dan ucapan Ibu (yang memang literally bisa jadi doa-tidak-langsung) adalah perantaraNya. Yang harus buatku bersyukur diberi waktu lebih untuk melihat orang tuaku masih punya kesempatan untuk bermanfaat bagi orang lain. Ya berarti aku harus bisa bermanfaatkan buat mereka juga dong. Hehehe *sambil nangis*
Dulu emang iya, waktu kesel karena nggak boleh magang di Jakarta, aku sempat nyeletuk, "besok kalau aku dapet kerjaan jauh atau dapet suami jauh boleh lho bu"
dan Ibu dengan lembut menjawab, "iya....."
Tapi kayaknya punya kerjaan di kota sebelah dan suami satu kota bakal bisa tetep ngulekin sambel buat Ibu sewaktu-waktu, deh. :)
Komentar
Posting Komentar