Kemarin, pas lagi di sela leyeh-leyeh scrolling instagram, sampailah pada postingan terakhirnya salah satu blogger favorit, mba @pungkyprayitno. Mbaknya ceritanya abis dari Banjarnegara, nih. Tepatnya bertandang ke sentra kerajinan keramik di Kecamatan Klampok.
Ini postingan terdiri dari beberapa foto yang menggambarkan pesona kerajinan keramik berikut proses pembuatan kerajinannya. Turut bangga juga Mbak Pungky mengenakan kaos dengan logo (baru) pariwisata Banjarnegara. Ya endorse sih kayaknya. Sekilas liat foto-fotonya juga apik dan epic. Menarik hati untuk men-double click a.k.a menyukai postingan tersebut. Apalagi karena ada kontribusi mempromosikan salah satu aset pariwisata dan kekayaan karya Banjarnegara.
Dasar memang jiwa perempuan kalau kepo instagram suka sampai dalem-dalem, jempol ini ikutan buka kolom komentar setelah baca caption. Beberapa komentar muncul yang kebanyakan mengomentari tentang poci teh yang memang jadi lain fokus dari foto. Tapi ada satu yang jadi buat aku pengen nulis ini setelah baca itu.
Yak. Ada fokus yang bikin melek disini. Setelah baca komentar ini, aku jadi langsung nelangsa nggak tau kenapa. Satu sisi seneng karena sampai sekarang masih banyak kodi-kodi kerajinan keramik diproduksi setiap harinya, karena mereka. Di sisi lain jadi mikir, kaderisasi pengrajinnya beneran ada nggak ya? Usia mereka sebenarnya sudah tidak lagi usia produktif. Mungkin seharusnya sudah ada di masa-masa duduk istirahat menikmati celotehan cucu di rumah.
Bisa dibilang usia produktif saat ini adalah mereka para generasi Y dan millenials. Kelahiran 80-90an. Mereka lagi emas-emasnya banget punya waktu dan tenaga banyak, pemikiran yang bisa dibuka seluas-luasnya, dan kebebasan pilihan selebar-lebarnya. Dengan pemandangan teman-teman sekarang berdiri di atas gelar berbagai bidang, punya pengalaman seabrek, lalu sekarang mampu memegang gengsi dengan berpenghasilan rutinnya setiap bulan. Itu sepertinya memang murni alur umum dari people-jaman-now. Tapi pernah nggak sih kepikiran, pengen gitu ikut terjun menggaet teman-teman yang tidak seberuntung kita itu untuk bisa ditarik belajar kesenian dan kerajinan? Yang at least bisa buat mereka ada keinginan buat nabung. Atau minimal jajan sendiri tanpa minta uang orang tua.
Pertanyaannya,
Kemana para usia produktif?
Dari kita banyak yang terlanjur skeptis karena era sosial media sekarang. Banyak yang jadi mudah mencibir, mudah minder, mudah terpengaruh, mudah menyerah, dan nggak fokus. In my humble opinion, dengan adanya kemudahan akses apapun di jaman sekarang, banyak kami para usia produktif justru jadi nggak produktif. Jarang jalan kaki, banyak duduk, tapi justru seringnya menunduk (baca: mainan HP). Terus sekalinya liat temennya posting yang enak-enak, kepengen. Temennya posting kerja enak sekolah enak, di nyinyirin. Temennya posting udah jadi istri pejabat, iri. Temennya posting make-up bagus di endorse ini itu, sini coba cari produk yang sama padahal isi kantong berbeda. Padahal sendirinya sebenarnya sangat bisa untuk cari kegiatan lain, belajar sesuatu, dan menghasilkan. Daripada harus selalu 'melihat orang lain' malah jadi kesel sendiri, kan?
Mungkin.. dari kita masih takut untuk berbeda. Beda tampilan, beda pencapaian, beda apresiasi, beda pendapatan, beda yang dipamerkan. Padahal beda itu kan nggak salah. Yang salah itu kalau kamu melanggar aturan. Kalau kata Pandji Pragiwaksono, sih, 'sedikit lebih beda itu lebih baik, daripada sedikit lebih baik'. Hanya yang jadi catatan adalah, setiap dari kita punya natural bidangnya sendiri-sendiri. Nggak ada yang seratus persen sama. Jadi kita nggak harus menyerah hanya karena kita pengen jadi dokter tapi nyatanya cuma bisa jadi perawat. Nggak boleh jadi pengeluh hanya karena tadinya mau jadi polisi tapi nyatanya sekarang jadi guru olahraga. Nggak ada alasan kita jadi terpuruk merenungi nasib karena nggak lulus kuliah terus bingung mau ngapain. Dunia ini luas dan nggak cuma selebar ruang kelas. Kalau mau coba hal semacam belajar kerajinan untuk suatu niat yang baik mencipta karya dan bisa menjadi pundi-pundi berharga, kenapa tidak?
Untuk yang sepuh-sepuh di atas masih jadi pengrajin keramik Klampok, rasanya kuingin buttom up untuk meregenerasi pengrajin biar yang seger-seger gantiin mbah-mbah yang udah butuh legerengan. Bukan sebaliknya.
Kalau memang pariwisata dan asetnya dipelihara oleh daerah, bisa jadi hal-hal yang semacam ini diperhatikan buat keberlangsungan hidup budaya gilar-gilar.
Luar biasa, jadi bahan untuk introspeksi diri, barangkali nanti petani di kampung saya bernasib sama seperti pengrajin keramik, sepertinya saya perlu berdiskusi dan berdamai dengan diri sendiri untuk memikirkan hal tersebut.
BalasHapusTiba-tiba jadi kepikiran ya kak :')
Hapussemoga beneran ada keberlanjutan.
Terima kasih sudah mampir
Kadang nyg mikir, beruntunglah mereka yg berada dilingkungan banyak potensi, tak perlu susah susah menggali apa yg bisa jd daya guna. tp ternyata ada sisi lain yg mereka jg masih kesulitan ya, salah satunya ya bab regerasi itu.
BalasHapuscen wang sinawang.
sepaham!
Hapusnyenengin karena banyak potensi, tapi kadang saking banyaknya hal besar yang disorot, yang kecil jadi terpojok. ncen... banyak hal kecil yg terlewat karena kita berjalan terlalu cepat.