Selama kurun waktu dua minggu terakhir udah dua kali dapat
kabar temen ditinggal ibunya meninggal. Kedua temenku ini perempuan, satu
generasi, dan sama-sama belum menikah. Ibunya meninggal karena sakit, tapi
tetap saja terkesan mendadak. Tidak ada yang tidak jatuh sejatuh-jatuhnya
ketika pintu surganya diambil Sang Kuasa. Apalagi, entah mengapa, selalu ada
cerita lain dibalik jawaban pertanyaan kronologis ajal menjemput ibu mereka.
Pertama, dia teman di Puskesmas. Bidan di salah satu desa
yang sering banget diikutkan lomba karena keasrian dan keasyikan orang-orang
desanya. Hanya berjarak umur dua tahun di atasku. Ngomong-ngomong masih tersisa
tiga gadis di Puskesmas, dan dia salah satu dari kami. Jelas dong lebih sering
main dan curhatnya bertiga ini.
H-3 Ramadhan adiknya masuk rumah sakit. Besok siangnya
operasi, ada benjolan di leher sebelah kirinya. Katanya tumor jinak. Seperti
halnya orangtua yang baik di jagat raya ini, ibunya (selanjutnya dia selalu
sebut mama-red) yang nemenin siang malem. Sampai selesai operasi dan siuman. Setelah
itu bahkan baru sempat mandi sekitar sore menjelang maghrib.
“selesai mandi tuh mama ngeluh...’mama kok les-lesan ya,’" ceritanya padaku. Lanjut setelah
itu matanya udah mulai susah melek. Lemes aja gitu tiba-tiba. Setelah minta
diukur tensinya, ternyata tinggi banget. Langsunglah minta dibawa ke IGD. Long story short, karena tiba-tiba
kondisi jadi aneh dimana tensi dari tinggi banget trus jadi rendah kemudian,
mama dimasukan ke ruang ICU. Sejak dibawa ke IGD sampai diisolasi di ICU sudah
dalam kondisi tak sadarkan diri. Siapa yang nggak panik? Adik baru saja
operasi, mama tiba-tiba tidak sadarkan diri. Fyi, dia anak pertama dari tiga bersaudara dan cewek semua. Jelas,
andilnya besar. Papanya sendiri seorang polisi.
Malam itu, grup WhatsApp Puskesmas ramai mengantarkan doa untuk
kesembuhan adik dan mamanya. Dengan segala keniatan hati besoknya aku harus ke
rumah sakit untuk menjenguk. Tapi semua berkata lain ketika besok paginya baru
banget aku turun dari motor, di parkiran sudah dikabarkan mamanya temenku ini udah nggak ada. Innalillahi wa innailaihi raji’un...
Lemes aku. Mendadak banget. Dan kondisi seperti itu. Usai
pelayanan di kantor, aku mendahului datang ke rumah duka. Aku bisa liat dia
udah nggak nangis, tapi begitu ketemu dan dipeluk, aku yang berhasil ikut nangis.
“maafin mamaku ya Ra” katanya sambil sesenggukan.
Salutku, dia bisa cerita lengkap
kronologisnya. Tetep, walaupun masih sambil sesenggukan. Susahnya, dia bingung
gimana adik-adiknya. Nomor dua baru selesai operasi dengan dipaksa pulang dan
rawat jalan padahal baru semalam di opname, yang kecil baru kelas 5 SD dan
masih suka tidur sama mamanya. Dia, anak pertama, Bidan desa yang just in case jarang di rumah. Pelayanan
tiap hari. Hampir aja putus asa.
Besok udah puasa.
Setelah ini orang-orang pada
pulang, dia harus bisa jadi ‘ganti’ seorang ibu. Instantly.
Kedua, teman satu profesi tapi beda kantor. Pertama kali
dapat kabar, via grup WhatsApp di hari Jumat tepat 9 Ramadhan. Ibunya meninggal
di rumah sakit. Jelas aku tanya langsung, sakit apa ibunya? Tapi tak langsung
dapat jawaban.
Besok siangnya, aku dan teman-teman takziah. Rumah duka
sebenarnya ada di tengah kota, tapi pemakaman dilakukan di wilayah keluarga
besarnya tinggal. Jadi praktis kami menuju ke rumah neneknya. Demi ketemu,
menghibur, dan jadi teman cerita.
Sampai di tkp, kebetulan orang-orang baru pulang dari
pemakaman. Seperti sudah di skenariokan, kami langsung menangkap teman
kami yang baru saja kehilangan ibunya itu, baru turun dari boncengan motor. Pelukan
dan ucapan duka langsung banjir. Setelah itu kronologis cerita ibu mengalir.
Ternyata ibunya sudah nggletak
lama. Awalnya kakinya yang susah digerakkan, rajin berobat tapi tidak ada orang
yang tau. Bahkan orang-orang kantor ibunya nggak ada yang tau karena saking
diam-diamnya si ibu kalau berobat pakai surat ijin dinas luar bikin sendiri L sampai terakhir dibawa
ke rumah sakit, katanya kena TB tulang. Tapi jelas telat pengaduan. Kenapa baru
ketauan TB tulang? Ah, ceritanya panjang.
Yang aku prihatinkan amat disini adalah, kalimat dia yang “abis
ini aku sama siapa...”
(Ya Allah nulis kalimat barusan aja aku udah netes L)
Bapak ibu kandungnya cerai. Entah sejak kapan dan aku pun
tidak ingin bertanya lebih. Bapak sudah tidak tinggal satu rumah. Ibunya menikah
lagi. Dia masih panggil bapak tirinya dengan sebutan ‘om’. Bahkan menyebutnya
dengan ‘suami emak’ doang. Kakak satu-satunya tinggal di luar kota karena ikut
suami. Saudara jauh di ujung kabupaten, dia sendiri di kota.
Lagi, dia baru putus dari
pacarnya bulan April lalu. Itupun pakai drama karena nggak direstui dan ndilalah, si cowok selingkuh. Sungguh
jikalau aku tidak beriman aku ingin mengumpat Tuhan. Astaghfirullahal’adzim.
Awal bulan ini bapak ibuku baru saja menerima lamaran
laki-laki pilihanku. Setelah hari itu, ada saja yang jadi beda. Bapak yang
lebih sering ringkih dan (entahlah) menatapku sedikit beda dengan tidak ingin
melewatkan jam mengobrol tiap sore seperti biasa. Ibu yang memang tiap pagi jadi
teman di dapur, kalimatnya udah yang siap men-drill aku untuk jadi istri orang. “nanti kalau udah berkeluarga itu
suami nomor 1, kamu baru setelahnya. Kalau udah punya anak, anak jadi nomor 1,
suami nomor 2, kamu yang terakhir”, itu kalimat pengingat favorit ibunda
padaku.
Sampai bosan. Tapi menikmati. Hahaha. Siapa yang nggak mau
jadi (minimal) kayak ibu?
Sampai sebenarnya jadi lebih sering ada gesekan pendapat,
debat, dan diam yang lama antara aku dan bapak-ibu. Hal apapun. Terkaannya karena
semakin dewasa aku dan semakin berumur mereka. Sampai kalau ada obrolan yang
terutama soal persiapan hari H pernikahan, aku memilih untuk menuruti apa
keinginan mereka. Hanya menekankan, “aku nggak mau mewah-mewah,”
Karenanya lagi ya itu, kami sudah mau saling ditinggal.
Selain wisuda, pernikahan adalah perpisahan yang bersampul kebahagiaan.
Lalu seperti mendapat tamparan keras dari kejadian dua
minggu ini. Temenku yang bilang sendiri, jangan sampai nyesel. Mungkin
akan tetap ada itu penyesalan... nggak ada anak yang sempurna bisa balas budi
ke orang tuanya, kayaknya. Tapi seenggaknya dengan mensyukuri mereka masih ada
itu udah bagus. Mensyukuri saja cukup?
Kalau kata ibu, yang penting jadi anak yang menentramkan
hati orang tuanya.
Kita tau kita ini nggak ada bagus-bagusnya kalau di liat. Dari
kecil kalau minta balon nggak dikasih aja suka ngamuk, rebutan mainan sama temennya
ngadu sambil nangis, pulang main banting sepeda banting pintu karena berantem
sama temen tapi ibu yang kena semprot. Begitu udah gede, merantau jarang pulang
keasyikan sama temen-temen, sekalinya di rumah lama pengen liburan yang jauh. Dapet
kerjaan jauh gaji banyak komunikasi sedikit. Belom kalau dapat jodohnya jauh
juga trus ninggal rumah karena sudah lepas untuk punya keluarga sendiri. Astaghfirullah...
Again, nggak ada
yang sempurna. Nggak ada. Bapak ibu kita pun menyadari itu. Mereka juga
manusia, kita apalagi. Manusia yang jadi anak orang tua kita tapi begini-begini
ini. Valuenya, mulailah meski baru sekarang. Mulai rajin komunikasi, mulai
rajin bantu, mulai mendengarkan, mulai minta maaf, mulai nggak gengsian, mulai
membahagiakan. Daripada nggak mulai-mulai nanti kamu yang gantian bilang ke
temenmu suatu hari nanti “jangan sampai nyesel..”
Setidaknya, mulai dulu. Walaupun sedikit.
Semoga orang tua
kita diberi kesehatan umur panjang dan selalu dalam lindungan-Nya...
Amin.
11 Ramadhan 1439 H
Mrinding,baca yang ini mba :')
BalasHapusKebetulan, saya juga anak pertama dari 3 bersaudara dan perempuan semua :')
Terima kasih sebelumnya sudah mampir baca.
HapusBerarti kita samaan. 3 bersaudara cewek semua, bedanya aku amak tengah. Hehe. Yuk rajin komunikasi sama ortu :)