Prolog tentang basket sepertinya akan sama di setiap
tulisan. Yang pasti adalah moodboster, kesenangan, penurun kolesterol. Hingga
segala tentangnya, bisa mengalahkan prioritas yang lain. Selebay ini, gilak.
Padahal aku ngga jago. Main aja udah. Kalau jago mah udah ditarik sama sahabat
semarang. Hahaha.
Setelah lulus kuliah dan bekerja,kesenangan ini sering aku lakoni
se-kepengen-nya. Kalau pulang kantor waktunya selow dan suasana mendukung,
pasti ke lapangan. Kalau lagi mau goler-goler aja di kasur, ya diem di kamar
aja. Nah, masalahnya karena waktu aku ke lapangan itu insidental banget, jadi aku
sangat jarang rutin main bareng teman yang seangkatan. Atau minimal satu frekuensi, lah. Jadi kalau pas
lagi pengen main basket terus pergi ke lapangan tanpa spekulasi ada siapa aja
yang main. Alhasil karena aku so
independent (preett) jadilah ikut sana sini. Kadang ikut latihannya klub
mana, kadang ikut latihannya sekolah mana... sampai mungkin saking cungkringnya
saya, pas ikut latiihan anak sekolah, ditanyain gini dong “kelas berapa, mba?”.
Hahaha
Sempat lumayan lama mengidap pola seperti itu. Tapi
lama-lama bosan karena merasa ngga ada temen ngobrol. Iyadong, kita main basket
aja sambil teriak-teriak koordinasi. Jadi sepi banget kalau main sendirian.
Kecuali emang ke lapangan pas lagi galau (eh.)
Jadilah suatu saat pernah masuk grup line, isinya
temen-temen SMA yang dulu 1 tim. Wahhh angin ribut banget dong buset
ramenyaaaa. Sekali doang ikut main bareng, abis itu aku nya yang susah banyak
waktu ngga bisanya. Suatu saat pernah DM temen karena liat story dia main sama
yang senior-senior, tapi malem. Yaudah kan... minta banget pengen diajakin
kalau mereka latihan. Eh, yang ada tiap jadwalnya diajakin, aku keburu tepar
males keluar. Hehehe. Emang anaknya susah sejak lahir ini mah kayaknya, ya.
Jadilah aku tetap dengan pola melakoni kesenangan ini
sesekali aja kalau pengen. Kalau semingguan pengen, ya bisa tuh seminggu pegang
bola terus. Sampai suatu saat...
Waktu itu senin sore, lupa tepatnya tanggal dan bulan apa. Aku
main ke lapangan pemda yang ternyata
lagi buat latihan anak-anak MAN 1 Banjarnegara. Seperti biasa... sok-sokan
melipir dulu kan pemanasan sendiri. Kalau begitu ada sela bola nganggur atau
lapangan kosong, diri ini masuk main-main sendiri. Terus di tengah aku lagi freethrow, Mas Mara—pelatih MAN yang
kebetulan kakak dari teman sekelasku dulu, nyeletuk teriak manggil “Tan! Kamu
ikut timku aja yok”
“Tim apa, mas?”
“Exiton”
“Apa? Silitol?”
“Exiton!”
“Apakah itu?”
Jadi, dari hari itu aku baru tau kalau di kota ini ternyata udah
banyak klub bertebaran. Dari yang dulu jaman sekolah aku ikut Bintang Muda, terus muncul ada tim
Canbara, dan lain-lainnya... Nah Exiton ini salah satu klub dari sekian yang
ada di Banjarnegara. Asing banget sih, serius. Orang-orang yang aku kenal juga cuma Mas Mara seorang dan
Mega--adek tingkatku beda sekolah tapi dulu pernah bareng di POPDA Provinsi
waktu SMP. Sisanya, benar-benar baru. Tapi yaudah tanpa ekspektasi apapun,
apalagi karena diajak secara nyata untuk masuk tim, aku sangat semangat mencoba. Lalu di minggu
berikutnya sesuai jadwal, aku ikut
latihan.
Layaknya kamu masuk di lingkungan baru; asing, baru, dan
kagok. Tapi bedanya disini adalah, semua welcome, sama-sama main seneng, dan aku
ngga ngerasa tertindas. Oke, wait,
kalimatnya kok rada sarkas. Hehehe. Tertindas disini adalah, ngga ada yang jadi
ngerasa minder karena lower than others, gituloh. Semua sama aja. Termasuk 95%
dari pemain sama-sama pakai kerudung. Masya Allah...
Singkat cerita, bulan-bulan turnamen telah tiba. Seluruh
klub yang ada bertandang tanding. Dua dari tiga seri yang sudah berjalan, aku ikut berkontribusi. Siapa sangka? Lawan kita
adalah klub-klub yang isinya temen-temenku semua. Hahaha. Ya yang dari klub
dulu waktu sekolah ternyata sekarang eksis pol-polan, juga klub yang isinya
senior-senior dimana aku sebenarnya
pernah diajakin latihan itu. Lucu aja sih. Sebenarnya bisa banget aku ada di sisi mereka. Tapi yang ada sebaliknya.
Terus gimana perasaannya?
Bersyukur.
Menjadi pelengkap di Exiton memang tidak pernah terbersit di
pikiran. Tapi kembali ke klub terdahulu atau ikut klub baru lain juga sama aja
ngga kepikiran. Karena bagiku, main basket ya main basket aja. Apalagi di
kondisi yang sekarang waktunya rasanya gitu-gitu aja. Tidur-makan-kerja,
tidur-makan-kerja, lanjut gitu terus. Jadi yaudah ngga ada ambisi yang menggebu
lagi untuk—istilahnya—nyari menang atau eksis atau yang lainnya. Main ya main
aja, senengnya dapet, efek setelah olahraganya dapet. Cukup. Tapi bukan berarti
di sini aku seadanya, sih. Nanti ditampol mas-mas coach kalau ngomong gini.
Hehehe. Tapi serius deh, dimanapun kamu berpijak, selama kamu enjoy dan lepas,
pasti efeknya baik.
Jadi, setelah seri 3 turnamen kemarin semakin banyak yang
nanya “kamu Bintang Muda, ya?” atau “Lho kok ngga ikut Old Star aja?” terus
“Exiton tuh sama siapa aja sih?”... aku senyumin lebar. Sebenarnya semakin kesini
sedikit banyak dapat alasan kenapa akhirnya aku duduk di Exiton aja, ngga melirik yang lain.
Pasalnya walau di yang lain banyak teman-teman sepermainan dulu, tapi kalau
misal aku di sana, belum tentu aku berkembang mentalnya kayak sekarang. Karena aku
di Exiton dan kebetulan jadi yang
tertua, partner satu tim bocah semua, tanpa disadari mereka jadi tempatku membuang
‘bocah’ yang ada di dalem diri. Jadi lepas, enjoy, tanpa beban.
Terlepas dari yang namanya dipilih untuk berkumpul di suatu
perkumpulan juga disebut jodoh. Jodoh nggak ada yang tau, kan?
Komentar
Posting Komentar