Langsung ke konten utama

Mendikte Takdir

Suatu hari, suami (yang waktu itu masih jadi calon suami) pernah bilang kalau ia punya cita-cita untuk tidak mau pensiun di dunia perbankan. Hal ini jadi bahan diskusi kami sebelum menikah. Dan aku menyetujuinya saja, tanpa embel-embel kekhawatiran. Meskipun dia sedikit kaget kenapa aku nggakpapa. Kayak "beneran nih cewek mau diajak susah setelah bisa dikasih nafkah lebih dari cukup?" Hahaha.

Setelah menikah, dengan kondisi kami berdua sama-sama bekerja, semua berjalan biasa saja. Sampai aku hamil, melahirkan, dan berputar menjadi ibu rumah tangga. Keluarga kami mengalami transisi pertama. Punya anak, dan hanya punya aliran pemasukan dana dari suami saja. Alhamdulillah, Allah sangat sayang dengan keluarga kami. Sungguh tak kurang sedikitpun rejeki yang kami terima. Hanya, ritmenya saja yang berbeda. Yaaa gimana ya dari aku yang tiap pagi ribet di dapur dan depan kaca buat siapin sarapan suami pun siap-siap ke kantor, terus berubah ke ngurus ompol bayi, begadang setiap malam, pakai daster all day long yang rasanya kucel terus tidak ada glowing-glowingnya hahaha.

Pada akhirnya ritme itu berubah kembali menjadi aku yang bekerja lagi, anak sudah semakin besar, dan (merasa) well mari produktif dan mencari pengalaman lebih banyak lagi! Nyatanya yakaaan diri ini rindu masa kejayaan yang dikelilingi banyak rekan hingga kegiatan. Semangatnya sungguh menyala-nyala.

Menjadi tenaga honorer di suatu sektor layanan publik tidaklah mudah. Mungkin gajiku bisa dibilang cukup, dibanding dengan tenaga honorer di sektor lain. Tapi, tetaplah ada cita-cita untuk naik strata dan kasta. Dari awal kuliah, orangtuaku pasti mengarahkan pada profesi pemerintahan. Yaaa you named it. Sejak awal tahun setelah lulus kuliah sudah kuikuti tes CPNS itu. Sampai pada tahun kemarin, untuk pertama kalinya keseriusanku lebih, belajarku lebih, semuanya kulebihkan. Hingga peringkat seleksi awal aku berhasil mencapai peringkat pertama di posisi yang aku lamar.

Di tahun yang sama, suami membuka percakapan tentang cita-citanya yang pernah terlontar dari dulu itu. Semakin kesini, selain memang tidak ingin pensiun di tempat kerjanya itu, penat dan takut dirasa semakin menjadi. Selain itu jadi terfikir, kalau ia lepas dari perbankan, harus ada pegangan pekerjaan selanjutnya, dong? Sedangkan tidak mungkin kita menunggu bertahun-tahun lamanya lagi untuk melompat ke sektor pekerjaan lainnya, kecuali wirausaha yang tidak perlu patokan umur. Padahal setahun lagi sudah menginjak kepala tiga. Umur hampir maksimal bisa apply pekerjaan lain.

Lalu setelah kebersyukuran aku bisa lolos tahap dua CPNS ke Seleksi Kompetensi Bidang, suami bernazar akan resign kalau aku bisa lolos CPNS sampai dapat NIP.

Long story short, ternyata qodarullah aku tersalip oleh sainganku. Praktis dia yang ranking dua di Seleksi Kompetensi Dasar, bisa tiba-tiba berselisih skor yang menjadikan ia di atasku dan aku gugur. Hanya sekitar 10 poin nilai kami terpaut. Yaudaaaaah deh, belom rejekinya lagi jadi CPNS sekarang. Meskipun sedihnya kayak udah lari poll sampai di garis finish tapi pas mau nempel pita kemenangan eh kesleo. Wkwkwk.

Lalu di tengah jalan pulang ke rumah setelah seleksi, aku teringat nazar itu. Aku tanyainlah"...kan aku nggak jadi lolos nih, yang. Terus kamu nggak jadi resign, dong?"

Katanya, lebih baik kita pikirkan itu nanti dulu. Meski menurutku tetap jawabannya harusnya iya.

Setelah aku tenang, setelah kami mengatur ritme lagi, setelah waktu berjalan terus, dan kami tersadar sesuatu. Kalau aku kemarin beneran lolos CPNS, terus suami jadi resign dari perbankan karena itu, kok kita kayak terkesan nge-dikte Gusti Allah yang punya kuasa mengatur semuanya, sih? Kalau mau resign mah resign aja. Malah jadi kayak kamu mau sekolah, tapi harus punya sepatu merk abcde. Ya mau sekolah mah sekolah aja, ngapain ngeribetin sepatu. Astaghfirullahal'adzim... maafkan kami Gusti... seolah kami bisa merencanakan segala yang kami mau di dunia. Padahal da ada apasih yang mau dicari di dunia. Niat mau lepas dari perbankan juga kan aslinya tujuannya bukan dunia. 

Lalu akhirnya kami putar balik rencana. Tahun 2022 usia nggak bisa lagi ditolerir. Kami insyaAllah siap untuk menghadapi masa transisi baru. Suamiku akhirnya mengajukan surat resign di awal bulan Ramadhan, dan pada hari lebaran sudah terlepas dari status pegawai. Selain itu, sebulan sebelum Ramadhan kami mencoba membuka kembali outlet Djuragan Maryam yang mati di awal pandemi. Persetan dengan anggapan susah bangun, pengalaman lampau yang sempat defisit, dan lain sebagainya. Ya kami sih mikirnya simpel aja.. kalau belum dicoba, gimana bisa tau akhirnya?

Kata Bapak, ketika kita berusaha keluar dari suatu kemudharatan, Allah akan membantu kita meraih keridhoan yang lain. Aku sungguh meng-amin-kan kalimat ini. Karena pengalaman nazar kemarin, yang kami mengaku jadi hamba yang "saru" karena sok-sokan punya settingan sendiri, kini jadi lebih "yaudahlah yuk jalan dulu aja gimana ntar biar ikut takdir dari Gusti Allah aja yang penting kita usaha dan doa". Dan seperti diberi kejutan di bulan yang sama saat pengajuan surat resign suami, aku diperintahkan atasan untuk melakukan pemberkasan guna pengajuan tenaga kesehatan honorer yang akan diangkat menjadi ASN PPPK. Allahuakbar. Meskipun baru pengajuan dan sangat mungkin prosesnya tidak sebentar, tapi ini tuh jadi kayak... Ya Allah, jadi ternyata kami mau didikte balik gitu, ya? Bukan dengan aku harus jumawa dulu keterima CPNS baru suami resign, tapi harus yang suami resign dulu baru dibuka pintu lain untuk kami. MasyaAllah... semoga bukan hanya janji manis ya pak menkes dan pak jokowi pengajuan PPPK untukku dan teman-teman nakes honorer. Aamiin.

Untuk segala hal baik yang sedang kami usahakan, untuk masa-masa lelah harus produktif lebih dari biasanya, untuk waktu kebersamaan yang mungkin akan semakin berkurang. Sungguh sekarang aku merasakannya. Melihat suamiku, bisa jadi ayahnya Neira yang banyak bermain di waktu yang lega. Berselancar mencari peruntungan pekerjaan baru. Mencoba pengalaman berdagang yang up and down. Berikut pula dengan cekcoknya karena tetap saja kelelahan. Hahaha.

Mungkin setelah ini bisa jadi kami akan LDM (Long Distance Marriage), atau kami akan pindah ke luar kota tempat kami tinggal sekarang, atau kemungkinan-kemungkinan lainnya. Yang pasti, semoga apapun perjalanan kami bisa selalu mengikuti arahMu, Ya Allah. Terima kasih banyak.

- Banjarnegara, 3 Juni 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Mahasiswa Sehat dari Masyarakat

Mahasiswa bukan hanya kata ‘maha’ di depan kata ‘siswa’. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan rakyat biasa, bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat. Karena kedudukannya, mahasiswa sendiri menjadi memiliki banyak peran dalam kehidupan bermasyarakat, tidak terlepas dari bidang mereka masing-masing.

Navigasi

Senin yang ceritanya long weekend kemarin, aku dan bapake bertandang ke suatu tempat untuk tujuan tertentu. Ceritanya dapet kontak orang yang mau dituju di instagram nih. Yaudah aku hubungi lah dia. Setelah menceritakan maksud dan tujuan aku ingin berkunjung, si mbak yang menerima respon kontak memberikan infomasi arah ke alamat tujuan. Ceritanya di bio instagram dia udah ada info lokasi. Tapi cuma nama kecamatannya doang. Kutanya, sebelah mananya ya mba? Beliau bilang, "kalau dari arah kota perempatan pasar belok kiri, mba. nanti ketemu pertigaan, belok kiri lagi. Lurus aja terus nanti mentok nah itu rumahnya pas mentok jalan. Namanya mas ini" Oke, kita ikuti..

Ngeluh sama kerjaan?

Saat itu di suatu pagi dimana aku dapet panggilan wawancara di salah satu kantor cabang BUMN di kota perantauan waktu kuliah, banyak hal yang aku yakini itu skenario epic dari Allah terjadi. Jadwal wawancara jam 10 pagi. Karena waktu tempuh yang lumayan, aku berangkat dari rumah jam 7.30. Jelas sesampai di kota tujuan waktu untuk tiba di kantor masih longgar sekali. Setelah menyelesaikan urusan kekurangan pritilan berkas yang harus dibawa, aku mampir ke satu masjid favorit jaman kuliah. Masih jam 9 kurang sekian menit ketika setelah mengambil air wudhu aku masuk ke pintu jamaah putri. Ada sekitar 3 orang perempuan di dalam. Salah satunya ada di dekat tempatku sholat, sedang melantunkan ayat suci. Ketika selesai ritual dhuha, aku mundur menyenderkan bahu ke tembok belakang. Sambil membenarkan posisi kerudung, mbak-mbak yang baru saja selesai ngaji itu menyapaku, "Kerja dimana mba?".