Langsung ke konten utama

Ramadhan

Setiap tahun, Ramadhan akan menjadi bulan yang penuh cerita. Tahun ini, selain ngga puasa full di rumah karena (terlanjur) bantu di acara ospek jurusan, isi cerita tentang lini keluarga dan hati masih jadi pilihan.
Kenapa aku bilang terlanjur di dalam kurung? Aku ngga mau menyesali atas apa yang sudah di-open-recruitment-kan sekitar dua bulan yang lalu. Hanya saja ternyata apa yang dipikirkan mudah di awal, ketika sudah jalan di tengah-tengahnya, sama sekali ngga bisa dipungkiri itu sulit luar biasa sekali. Antara jawaban interview dulu waktu open recruitment (oprec) yang terkesan terlalu meyakinkan sekali kalau liburan semester genap ini bakal berkontribusi penuh di Purwokerto dengan kenyataan bahwa aku sendiri tetap susah buat engga kangen rumah.
Hati. Mungkin lucu ya kalau ini jadi salah satu my reason list kenapa aku pindah kos. But it was reality. Alasan-alasan lain mungkin masih bisa dimaklumi, tapi tidak untuk keadaan yang sekarang—yang menurut Ibu tidak sekondusif yang dulu.
Tentang lini keluarga. Minggu kemarin aku sempatkan dan niatkan buat mampir ke tempat mbah Perja buat buka disana dan kalau bisa sih ketemu Yaya buat bisnis hati sementara. Tapi apadaya akhirnya aku ke Perja dengan keadaan sendirian dan hujan, Yaya udah pulang ke Pemalang, dan Om Heri-Bu Achie buka di Mertasari. Jadilah aku nemenin mbah kakung mbah putri disana. Ini jadi cerita sendiri ketika, aku ngerasain hal yang ‘jadi gini ya kalau orang sepuh sendirian?’. Sepi. Peneman yang ada Cuma alat-alat elektronik rumah (re:TV), dan obat-obatan di meja. Sempet kepikiran kalau, ketika mereka hanya berdua, siapa yang ngingetin buat makan obat? Wong pas aku ada disitu aja mereka sempet debat rebutan obat. Yang mana punya mbah kakung yang mana punya mbah putri aja lupa, gimana soal yang lain? Kasian :’)

Selang beberapa hari setelah itu dapet kabar Pakde Sudar masuk RS Margono. Saat mencet keyboard ini aku lagi di teras belakang paviliun soepardi roestam 101. Trenyuh adalah saat Bude Irin bilang tentang surat jaminan surat jaminan gitu eh pakde nangis. Beliau bilang,”wong nyong pengen nangis ka apa ora olih?” aaaaaakk how menrenyuhkan it is :”)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Mahasiswa Sehat dari Masyarakat

Mahasiswa bukan hanya kata ‘maha’ di depan kata ‘siswa’. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan rakyat biasa, bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat. Karena kedudukannya, mahasiswa sendiri menjadi memiliki banyak peran dalam kehidupan bermasyarakat, tidak terlepas dari bidang mereka masing-masing.

Navigasi

Senin yang ceritanya long weekend kemarin, aku dan bapake bertandang ke suatu tempat untuk tujuan tertentu. Ceritanya dapet kontak orang yang mau dituju di instagram nih. Yaudah aku hubungi lah dia. Setelah menceritakan maksud dan tujuan aku ingin berkunjung, si mbak yang menerima respon kontak memberikan infomasi arah ke alamat tujuan. Ceritanya di bio instagram dia udah ada info lokasi. Tapi cuma nama kecamatannya doang. Kutanya, sebelah mananya ya mba? Beliau bilang, "kalau dari arah kota perempatan pasar belok kiri, mba. nanti ketemu pertigaan, belok kiri lagi. Lurus aja terus nanti mentok nah itu rumahnya pas mentok jalan. Namanya mas ini" Oke, kita ikuti..

Ngeluh sama kerjaan?

Saat itu di suatu pagi dimana aku dapet panggilan wawancara di salah satu kantor cabang BUMN di kota perantauan waktu kuliah, banyak hal yang aku yakini itu skenario epic dari Allah terjadi. Jadwal wawancara jam 10 pagi. Karena waktu tempuh yang lumayan, aku berangkat dari rumah jam 7.30. Jelas sesampai di kota tujuan waktu untuk tiba di kantor masih longgar sekali. Setelah menyelesaikan urusan kekurangan pritilan berkas yang harus dibawa, aku mampir ke satu masjid favorit jaman kuliah. Masih jam 9 kurang sekian menit ketika setelah mengambil air wudhu aku masuk ke pintu jamaah putri. Ada sekitar 3 orang perempuan di dalam. Salah satunya ada di dekat tempatku sholat, sedang melantunkan ayat suci. Ketika selesai ritual dhuha, aku mundur menyenderkan bahu ke tembok belakang. Sambil membenarkan posisi kerudung, mbak-mbak yang baru saja selesai ngaji itu menyapaku, "Kerja dimana mba?".