Langsung ke konten utama

#menuju20des

Ini adalah bukan pertama kalinya saya tergabung dalam suatu kegiatan yang bergelut dalam bidang sinematografi. #menuju20des adalah suatu proses dimana kreasi teman-teman penggerak seni di Banjarnegara khususnya, digalakkan, terutama dalam hal pemutaran film. Program ini dibuat menjadi serangkaian beberapa acara hingga puncaknya yaitu pada tanggal 20 Desember 2014. Keseluruhan rangkaian berupa pemutaran film dan diskusi di daerah Kali Palet Banjarnegara dan Khanza Banjarnegara serta mural untuk publikasi di beberapa titik kota. Hingga puncaknya tanggal 20-21 Desember 2014, diadakan Pesta Film Banjarnegara yang bertempat di Auditorium Kampus Politeknik Banjarnegara dengan tema ‘Efek Televisi’.

Terpilih menjadi salah satu volunteer program yang dicetuskan oleh komunitas seni Banjarnegara yaitu Godong Gedang ini membuat saya belajar banyaaaaak hal. Maaf, mungkin agak lebay. Tapi, to be honest, meskipun saya sering mengikuti berbagai kegiatan di kampus sebagai SDM yang diperlukan *ehem*, kali ini saya sangat menikmati perbedaan yang ada. Tapi sebelum saya cerita jauh bagaimana kenikmatan menjadi bagian dari #menuju20des, saya ijin cerita bagaimana awal saya kecemplung di sungainya film pendek waktu SMA dulu.

Atau mungkin ada yang pernah membaca tulisan saya yang berjudul ‘tentang festival dan film’? Disitu saya pernah cerita tentang kemelut kecil yang menggelitik tentang film dan festivalnya, ketika SMA.

Hal yang saya ingat pada saat saya di SMA dulu dan berkesempatan memegang ekstrakurikuler Sinematografi adalah, film dibuat harus dengan penuh kesabaran tinggi karena waktu produksinya yang tidak sebentar. Mulai dari pembuatan cerita, penulisan skenario, screening, shooting, editing, sampai dengan launching. Dulu, saya cenderung selalu ‘manut’ dengan bapak pembina. Selain diajarkan banyak hal mengenai film, khususnya produksi, kami juga sedikit terdoktrin untuk punya ambisi ikut (syukur juara) festival film. Terlebih ketika tim berhasil produksi satu sampai dua film dalam beberapa bulan saja dan mendapat apresiasi besar dari warga sekolah. Setelah pernah menyabet piala Festival Film Banjarnegara tahun 2010 kalau tidak salah ingat, ekskul kami mulai ‘ketagihan’ dan ‘tertantang’ untuk ikut festival lain. Hingga yang paling membanggakan adalah pada tahun 2012 dengan film berjudul ‘Titip Doa’ berhasil menduduki 6 besar nominasi cerita terbaik film pendek FFI 2012. Ya, saya ikut bangga. ikut senang karena merasa ikut ‘berenang’ di awal. Hanya saja, baru kali ini saya menyayangkan bahwa kenapa dulu kami hanya stuck pada pemikiran film-kami-harus-dikompetisikan. Bukan sekedar menjadi tontonan. Bukan untuk selayaknya film pendek dibuat.

Di #menuju20des, volunteer seharusnya mengikuti kelas secara penuh sebagai persiapan menuju tanggal 20 Desember 2014 itu sendiri. Namun dikarenakan saya yang masih hectic kuliah semester 5, jarak kampus-homebase kurang lebih 70km, dan alasan lainnya menjadikan hanya bisa mengikuti dua kali kelas dan pemutaran Pesta Film Banjarnegara itu sendiri. Teman-teman volunteer lain yang tergabung berasal dari berbagai umur. Total kami ada sekitar 20 orang, ada yang kuliah, bekerja, mayoritas dipenuhi oleh kawan-kawan yang masih duduk di bangku SMA/SMK. Kalau kalian penasaran siapa saja, bisa diintip di sini.

Bekerjasama dengan orang yang berbeda-beda umur itu tidak mudah. Mungkin benar itu yang ada di benak saya saat pertama kali mengikuti kelas. Belum lagi saat itu saya merasa tua sekali duduk bersama anak-anak berseragam SMA. Hahaha *swing*. Tapi ternyata itu salah besar. Awalnya saya merasa ragu ketika diberi tahu kalau saya menjadi koordinator bidang traffic. Traffic sendiri bertugas mengatur alur penonton saat pemutaran film berlangsung nanti. Teman-teman traffic saya semua masih SMA. Tanpa dipungkiri, mereka semua mengasyikkan!

Entah ada angin apa, hari Sabtu yang biasanya menjadi hari libur kuliah, pada tanggal 20 Desember tiba-tiba dijadwalkan untuk praktikum Toksikologi Industri di kampus FK Unsoed. Selain itu, singkat cerita, kalau tidak salah di malam tanggal 18 Desember saya baru dikasih tahu kalau harus double job untuk time keeper di Pesta Film Banjarnegara. Dengan komunikasi seadanya, jarak 70km, waktu terbatas, dan saya yang cenderung lebih sering panik dengan keadaan mendadak, mungkin saya bisa saja galau lantas merengek minta pulang setelah itu. Tapi semua tidak terjadi ketika teman-teman Godong Gedang selalu bilang ke saya,”Santai, mbak. Selow..”, dan membuat tawa setelahnya. Dan karenanya, saya mencuri waktu lebih awal untuk mendapat arahan teknis acara dari pak bos, Dama Yuninata. Mulai dari sinilah, saya mulai melihat cara pandang lain dari pergelakkan-suatu-acara dibuat.

#MariMenonton, begitulah tagline yang sering kami suarakan untuk menyebut acara Pesta Film Banjarnegara, merupakan suatu pemutaran film pendek dimana film-film yang diputar tidak dikompetisikan. Jika kita melirik acara pemutaran film serupa, mereka terkenal memakai nama ‘Festival Film’. Namun saat ini kata ‘Festival’ di depan kata ‘Film’ sendiri telah di-budaya-artikan sebagai suatu kompetisi. Padahal, arti kata ‘Festival’ sendiri justru tidak selalu menyangkut tentang kompetisi. Melainkan berfestival, berpesta. Maka dari itu, untuk menyelaraskan maksud dan tujuan, penyelenggara memberi nama acara ini dengan ‘Pesta Film Banjarnegara’.

Ngomong-ngomong soal festival film, saya langsung flash back ke cerita jaman SMA. Selama ini saya salah arti. Saya akui saat ini banyak ekskul film di sekolah-sekolah yang orientasinya sama dengan jaman saya dulu. Produksi film, ikut festival, menang, senang, makan-makan, sudah, selesai, produksi film, ikut festival...sampai sekarang. Baik, saya akui pula itu bagus untuk menumbuhkan semangat kawan-kawan usia SMA untuk berkompetisi di bidang yang mereka geluti. Namun setelah ngobrol ngalor ngidul dengan Dama waktu itu, saya tersentil. Melirik tema dari #MariMenonton yaitu Efek Televisi dan fungsi film sendiri dibuat yaitu untuk hiburan, ambisiusm memproduksi film pendek untuk menang di festival bukanlah hal yang selamanya segar. Efek televisi yang diusung disini pun tujuannya ingin mengajak masyarakat untuk pintar-pintar memilih tontonan yang layak dan patut ditonton serta mendidik. Selain itu menunjukkan film pendek sebagai tontonan alternatif keluarga. As simple as that.

Selain latar belakang pemutaran film ini dibuat, proses tim pelaksana juga masih saya rasakan hikmahnya sampai sekarang. Maaf, mungkin lebay lagi. Tapi serius deh, hal yang tadi saya bicarakan diatas saat teman-teman Godong Gedang hampir selalu ‘mempersilahkan’ saya untuk tidak panik, itu mujarab. Jujur saya memang terbiasa terkontrol di acara kampus yang penuh dengan teknis-tata-rapih-yang- harus-super-rapih. Selain kerapihan teknis, evaluasi pun lebih sering tegang dan terlalu banyak minta maafnya. Tidak usahlah jauh-jauh ke evaluasi, bahkan saat briefing saja tidak jarang sudah menciptakan suasana tegang. Itu di kampus. Disini? Luar biasa menyenangkan. Mulai dari persiapan H-1, briefing, angkut-angkut barang, menggiring penonton, hujan-hujanan, evaluasi penuh tawa dan ledekan, sampai pulang malam yang hampir nggak kerasa capeknya. *oke, ini lebay lagi*. Bahkan di hari pertama pemutaran, saya masih merasa kagok. Kagoknya adalah, saya lebih merasa tidak bekerja karena saking selow dan toleransi yang baik diantara tim. Haha. Walaupun memang saya tidak banyak bergerak dan lebih banyak ikut menghabiskan makanan serta nonton film :p


Godong Gedang memberi ruang yang memang dibutuhkan, menurut saya. Terlahir dari orang-orang yang selow dan gila, pengelolaan komunitas ini juga terlihat menyenangkan. Terima kasih, ya, sudah membagi pengalamannya. Semoga tidak hanya di sini saja, ya, saya ikut serta. Ditunggu gebrakan lainnya, genk! Salam budaya :3

Dimuat dalam laman Godong Gedang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Mahasiswa Sehat dari Masyarakat

Mahasiswa bukan hanya kata ‘maha’ di depan kata ‘siswa’. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan rakyat biasa, bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat. Karena kedudukannya, mahasiswa sendiri menjadi memiliki banyak peran dalam kehidupan bermasyarakat, tidak terlepas dari bidang mereka masing-masing.

Navigasi

Senin yang ceritanya long weekend kemarin, aku dan bapake bertandang ke suatu tempat untuk tujuan tertentu. Ceritanya dapet kontak orang yang mau dituju di instagram nih. Yaudah aku hubungi lah dia. Setelah menceritakan maksud dan tujuan aku ingin berkunjung, si mbak yang menerima respon kontak memberikan infomasi arah ke alamat tujuan. Ceritanya di bio instagram dia udah ada info lokasi. Tapi cuma nama kecamatannya doang. Kutanya, sebelah mananya ya mba? Beliau bilang, "kalau dari arah kota perempatan pasar belok kiri, mba. nanti ketemu pertigaan, belok kiri lagi. Lurus aja terus nanti mentok nah itu rumahnya pas mentok jalan. Namanya mas ini" Oke, kita ikuti..

Ngeluh sama kerjaan?

Saat itu di suatu pagi dimana aku dapet panggilan wawancara di salah satu kantor cabang BUMN di kota perantauan waktu kuliah, banyak hal yang aku yakini itu skenario epic dari Allah terjadi. Jadwal wawancara jam 10 pagi. Karena waktu tempuh yang lumayan, aku berangkat dari rumah jam 7.30. Jelas sesampai di kota tujuan waktu untuk tiba di kantor masih longgar sekali. Setelah menyelesaikan urusan kekurangan pritilan berkas yang harus dibawa, aku mampir ke satu masjid favorit jaman kuliah. Masih jam 9 kurang sekian menit ketika setelah mengambil air wudhu aku masuk ke pintu jamaah putri. Ada sekitar 3 orang perempuan di dalam. Salah satunya ada di dekat tempatku sholat, sedang melantunkan ayat suci. Ketika selesai ritual dhuha, aku mundur menyenderkan bahu ke tembok belakang. Sambil membenarkan posisi kerudung, mbak-mbak yang baru saja selesai ngaji itu menyapaku, "Kerja dimana mba?".