Langsung ke konten utama

Depresi.

Setelah nonton video Gita pas baru-barunya berita artis Korea bunuh diri itu, setelah pagi tadi ikut perawat puskesmas kunjungan rumah ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa), dan setelah suatu hari bersama perawat yang sama disodorin kertas blangko "tes kejiwaan"...aku ingin sangat ingin menuliskannya.

Suatu hari, setelah di Puskesmas ada rame-rame banyak orang yang rupanya calon panwaslu (panitia pengawas pemilu) pada tes kesehatan, aku disodorin selembar kertas sama bu perawat. Judulnya "tes kejiwaan". Ebuset. Goks dan horor banget nggak tuh. Padahal sebenernya nggak horor lah kalau di dunia medis. Lalu sesuai petunjuk beliau, aku isi blangko tersebut.

Isinya ada 20 pertanyaan, semua terkait dengan kehidupan kita di 30 hari terakhir. Semacam apakah susah tidur, apakah sering pusing, apakah sering tidak fokus, dan masih banyak lagi pertanyaan serupa bahkan lebih mendalam. Setelah selesai coret-coretin jawabannya, aku kasih lagi ke bu perawat. Tiba-tiba begitu dia baca hasil kerjaanku dia kaget dong...

Wah kenapa? Batinku tak menentu.

Setelah dia liat sekilas, langsung bilang.."deke esih enom, lho, Ra" (kamu masih muda, lho, Ra). Aku masih nggak ngerti apa maksudnya. Emang aku masih muda, lantas apa hubungannya dengan hasil tes kejiwaan tersebut?

Jadi bu perawatku ini menjelaskan...
Dari hasil tes yang aku kerjakan itu cuma diliat sekilas pun udah bisa ditelaah sendiri hasilnya. Ternyata aku banyak mencoret jawaban 'Ya'. Dimana sebagian besar pertanyaan di situ bersifat positif, bukan menjebak layaknya kuesioner-kuesioner tingkat kepuasan pelayanan yang mengarahkan jawaban untuk menjawab 'Ya'. Nah, dari hasilku ini ternyata tertangkaplah aku yang suka banyak pikiran, sering pusing, susah tidur, sampai sering berhalusinasi mendengar hal-hal yang tidak bisa didengar orang lain. Beliau sebut aku perlu ke psikiater. OMG! Aku shock doooong. Memang membenarkan apa hasil dari jawabanku di tes itu, tapi so far aku merasa baik-baik saja. Aku pikir banyak orang yang seperti jadi hobi untuk punya banyak pikiran tapi hidupnya (terlihat) baik-baik saja, bukan?

Beda kesempatan, aku bersama bu perawat yang sama dan salah satu bidan desa mengunjungi rumah terduga penderita ODGJ. Sepanjang kunjungan kami hanya berhasil berbincang dengan nenek si objek ODGJ ini. Sempat mencoba mengambil kesempatan menemui si objek (namun hanya bu perawat yang beranjak), tapi hasilnya nihil. Tidak mau ditemui bahkan sampai membanting pintu kamarnya. FYI, objek baru berusia belasan tahun. Dengan pengakuan dari si nenek dia begini sudah sekitar 2-3 tahunan yang lalu, berawal dari berangkat sekolah telat dan langsung pulang ke rumah. Setelah itu, nggak mau sekolah lagi. Keluarganya juga bingung, tidak tau persis duduk permasalahannya sampai dia seperti ini itu apa, siapa, dan bagaimana. Hanya menerka-nerka, di sekolah dia pernah dipukuli gurunya entah sebab apa. Orang tuanya berpisah saat ia bahkan masih belum usia sekolah. Ibunya jauh di luar negeri, ayahnya tidak tinggal satu rumah dengannya saat ini. Sekarang dia seperti kalong. Kalau pagi-siang tidur terus, malam melek terus. Pernah nggak mau makan berhari-hari, pernah juga mencoba makan sabun cuci. Nggak suka ketemu orang. Kalau ada orang dia kabur atau seperti tadi itu, mengusir orang yang mau menemuinya.

Kasus artis Korea yang bunuh diri itu dilansir karena depresi, kan, ya? Dia merasa banyak beban dan alasan lainnya. Hingga menganggap kematian adalah cara terbaik menyelesaikan semua bebannya. Padahal... yakali siapa yang tau kehidupan setelah itu :(

Dari hal-hal di atas, ada lebih dari satu benang merah yang menurutku bisa diambil. Kita tau lah ya manusia itu makhluk sosial. Dan sosialnya kehidupan manusia yang sekarang memang lagi genting-gentingnya. Dimana media yang menjuluki dirinya media sosial malah jadi bumerang buat sebagian orang yang nggak tau gimana harus menanggapi hal-hal yang harusnya nggak perlu ditanggapi. Sampai bisa menciptakan sistem tersirat yang baru di tiap masanya. Yang kalau kita nggak kayak gitu, kita seolah bukan makhluk sosial... di medianya.

Hal lain yang perlu digarisbawahi dari kesehatan mental kita menurutku adalah; teman hidup. Definisi teman hidup disini beragam, ya. Orang tua, keluarga besar, teman sepermainan, sahabat seperjuangan, pacar, dan orang-orang terdekat yang ada di sekeliling kamu dan berpengaruh dalam hidupmu. Mereka ada untuk berbagi dan dibagi. Maka bagilah ceritamu, keluh kesahmu, pengalamanmu, pencapaianmu, masalahmu, gundahmu, ide-idemu, dan hal lainnya yang nggak bisa kamu pendam sendiri. Oke, mungkin emang nggak semua orang bisa punya treatment yang sama buat mengungkapkan apa-apa saja yang ingin mereka ungkapkan. Tapi for noted, nggak ada yang salah dari mengutarakan apapun di dalam hatimu. Sepelik apapun itu dan sekecil cara apapun itu. Menulis, contohnya. Kamu bisa menyampaikan pikiranmu yang berat dan bercabang dengan menulis, curhat ke teman terdekat, lalu sudah. Tidak semua cerita kita butuh tanggapan. Kadang kita hanya lebih butuh didengarkan. Tapi percayalah, itu semua sangat melegakan, membagi beban masalah kita dengan orang lain demi mengurangi racun yang membuat kepala sakit.

Pernah baca salah satu tulisan teman dimana dia cerita waktu dia lagi down banget. Katanya, setiap dia cerita ke orang lain tentang masalahnya, jawabannya hampir selalu "masalahmu itu nggak ada apa-apanya, coba liat dia yang begini begitu lebih menderita daripada kamu" dan blablabla lainnya...

Lantas temanku ini bilang, yang aku simpulkan intinya begini;
masing-masing orang itu punya masalah yang beda-beda dan daya tangkap yang beda-beda pula. Yaokelah terserah mau bilang dengan saran ampuh seperti itu, bilang wang sinawang lah, bener. Nggak ada yang salah. Kita harus liat orang lain, di atas maupun di bawah. Tapi kita nggak bisa mengatur ketahanan seseorang untuk menghadapi masalahnya. Bisa jadi memang kita bisa menghadapi masalah sebesar gunung, tapi belum tentu orang lain bisa ngadepin persoalan yang hanya sebesar bukit. Batas benturan orang beda-beda. Ada yang bisa nerima dibilang begitu, ada yang malah tambah down dibilang begini.

Tapi, bukan karena yang begitu lantas kita jadi takut mengutarakan masalah dengan orang lain. Curhat itu penting, ternyata. Dan mendengarkan tidak kalah penting. Mengerti titik masalah dan bagaimana harus bersikap sering harus lewat banyak perantara. Itu kenapa kita disebut makhluk sosial. Bergunalah untuk orang lain, at least seminimal kamu bisa jadi pendengar yang baik untuk teman terbaikmu. Jangan biarkan dia jatuh. Hold her/his hand, and talk to them.

Intinya dan yang paling penting, sih, jangan lupa bahagia :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Mahasiswa Sehat dari Masyarakat

Mahasiswa bukan hanya kata ‘maha’ di depan kata ‘siswa’. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan rakyat biasa, bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat. Karena kedudukannya, mahasiswa sendiri menjadi memiliki banyak peran dalam kehidupan bermasyarakat, tidak terlepas dari bidang mereka masing-masing.

Navigasi

Senin yang ceritanya long weekend kemarin, aku dan bapake bertandang ke suatu tempat untuk tujuan tertentu. Ceritanya dapet kontak orang yang mau dituju di instagram nih. Yaudah aku hubungi lah dia. Setelah menceritakan maksud dan tujuan aku ingin berkunjung, si mbak yang menerima respon kontak memberikan infomasi arah ke alamat tujuan. Ceritanya di bio instagram dia udah ada info lokasi. Tapi cuma nama kecamatannya doang. Kutanya, sebelah mananya ya mba? Beliau bilang, "kalau dari arah kota perempatan pasar belok kiri, mba. nanti ketemu pertigaan, belok kiri lagi. Lurus aja terus nanti mentok nah itu rumahnya pas mentok jalan. Namanya mas ini" Oke, kita ikuti..

Ngeluh sama kerjaan?

Saat itu di suatu pagi dimana aku dapet panggilan wawancara di salah satu kantor cabang BUMN di kota perantauan waktu kuliah, banyak hal yang aku yakini itu skenario epic dari Allah terjadi. Jadwal wawancara jam 10 pagi. Karena waktu tempuh yang lumayan, aku berangkat dari rumah jam 7.30. Jelas sesampai di kota tujuan waktu untuk tiba di kantor masih longgar sekali. Setelah menyelesaikan urusan kekurangan pritilan berkas yang harus dibawa, aku mampir ke satu masjid favorit jaman kuliah. Masih jam 9 kurang sekian menit ketika setelah mengambil air wudhu aku masuk ke pintu jamaah putri. Ada sekitar 3 orang perempuan di dalam. Salah satunya ada di dekat tempatku sholat, sedang melantunkan ayat suci. Ketika selesai ritual dhuha, aku mundur menyenderkan bahu ke tembok belakang. Sambil membenarkan posisi kerudung, mbak-mbak yang baru saja selesai ngaji itu menyapaku, "Kerja dimana mba?".