"Kita terlalu pintar untuk menjadi bodoh, tetapi kita terlalu bodoh untuk merasa pintar"
Pernah nggak sih ngerasa kalau masing-masing dari kita punya sesuatu? Dimana mau ada orang lain yang sadar atau enggak, sesuatu itu bisa sangat melekat dalam diri. Punya kekuatan ambisi, tidak selalu tinggi tapi tidak juga begitu rendah. Apa lagi kalau bukan kemampuan. Orang bisa sebut itu bakat. Atau ada yang lebih suka menyebutnya talenta. Bebas semua bisa bilang apa.
Selama kurang lebih sampai di usia kepala dua, aku hidup dalam lingkungan yang hampir selalu penuh dukungan. Dari keluarga, yang pasti. Baik itu dukungan untuk kehidupan akademik maupun diluar itu. Aku, yang notabene nggak begitu suka belajar, akan lebih semangat ketika didukung penuh dalam kesibukan di luar akademik. Beruntungnya, orang tua tidak mensyaratkan atau memaksa apapun untuk anak-anaknya harus juara kelas atau tembus olimpiade atau cum laude. Walaupun jelas, orangtua mana (di Indonesia) yang nggak kepengen anaknya jadi juara kelas?
Setelah melewati umur itu, sambil menjalankan kesibukan yang ada, aku ketemu banyak orang dengan banyak warna. Ketemu banyak orang disini literally ketemu banyak orang. Baik baru maupun lama. Yang awalnya semua seolah sejalan sepikiran se-hobi se-lawakan dan serupa lainnya yang bikin adem hati dikelilingi orang-orang yang masih satu lingkaran. Mereka ini yang bikin aku percaya bahwa mimpiku, sekecil atau sebesar apapun itu, bisa sedikit-sedikit terbantu oleh orang-orang yang ada dalam lingkaranku itu. Setidaknya sampai pada titik dimana pernah gagal, jatuh berkali-kali, menerima hate speech bertubi-tubi,.. tapi ternyata lingkaran yang disebut tadi mulai goyah.
Ada yang benar-benar mendukung. Ada yang benar-benar hanya mengutarakan kata-kata dukungan. Beda, kan? Dari sini aku mulai meraba, ternyata, tidak semua orang open minded dengan segala macam pikiran kita. Tidak semua orang menerima apa pendapat kita. Tidak semua orang bersikap sama terhadap apa yang kita percayai dan suka--padahal aku kira (tadinya) semua orang suka akan hal ini-itu yang aku percayai dan suka. Sampai terheran-heran, "kok ada yang nggak suka sih?!" tapi pada akhirnya kita cuma bisa menghela napas panjang lantas berujar,
"ya ginilah warna yang dikasih sama dia dia yang ada di kehidupanmu"
Selanjutnya, karena pernah sering kehilangan (tidak mendapat sama sekali, sih) dukungan terkait hal-hal yang aku percayai dan suka, krisis kepercayaan diri muncul justru ketika dukungan itu hadir kembali. Susah banget buat bangun lagi. Terus tiba-tiba jadi keheranan sendiri lagi pas muncul dukungan lain dari orang baru. Seneng, sekaligus takut. Lho kok takut? Ya, takut memulai yang pernah dihilangkan sendiri. Setakut itu. Sedrama itu krisis kepercayaan diri yang pernah aku alami. Lebhay ya.
Setelah melewati berbagai fase, setelah jatuh coba bangun lagi, setelah dicaci coba membusungkan dada lagi, setelah dilarang mencoba mencoba lagi. Setelah dibilang nggak baik terlalu sering tampil di depan orang banyak, setelah dibilang tulisanmu bikin sakit mata, setelah dibilang nggak usah main basket lagi ntar cidera lagi. Sedih. Kalau aku bilang disini kita harus tetap semangat dan bla bla bla lainnya, akan sangaaat terdengar klise. Karena orang yang sedang paling terpuruk dalam hidupnya pun tau bahwa dia harus tetap semangat.
Tugasmu sudah bukan hanya memberinya kata-kata semangat. Tapi... dampingi orang yang sedang mengais semangatnya sendiri itu dengan menjaga suasana hati dan kemampuannya mengasah pola pikir.
-ditulis dalam keadaan super menahan tenang, ketika mood tidak karuan. sebagai pengingat diri, dan doa yang diteriakkan kata untuk tetap percaya diri. 16/5, 00.26
Pernah nggak sih ngerasa kalau masing-masing dari kita punya sesuatu? Dimana mau ada orang lain yang sadar atau enggak, sesuatu itu bisa sangat melekat dalam diri. Punya kekuatan ambisi, tidak selalu tinggi tapi tidak juga begitu rendah. Apa lagi kalau bukan kemampuan. Orang bisa sebut itu bakat. Atau ada yang lebih suka menyebutnya talenta. Bebas semua bisa bilang apa.
Selama kurang lebih sampai di usia kepala dua, aku hidup dalam lingkungan yang hampir selalu penuh dukungan. Dari keluarga, yang pasti. Baik itu dukungan untuk kehidupan akademik maupun diluar itu. Aku, yang notabene nggak begitu suka belajar, akan lebih semangat ketika didukung penuh dalam kesibukan di luar akademik. Beruntungnya, orang tua tidak mensyaratkan atau memaksa apapun untuk anak-anaknya harus juara kelas atau tembus olimpiade atau cum laude. Walaupun jelas, orangtua mana (di Indonesia) yang nggak kepengen anaknya jadi juara kelas?
Setelah melewati umur itu, sambil menjalankan kesibukan yang ada, aku ketemu banyak orang dengan banyak warna. Ketemu banyak orang disini literally ketemu banyak orang. Baik baru maupun lama. Yang awalnya semua seolah sejalan sepikiran se-hobi se-lawakan dan serupa lainnya yang bikin adem hati dikelilingi orang-orang yang masih satu lingkaran. Mereka ini yang bikin aku percaya bahwa mimpiku, sekecil atau sebesar apapun itu, bisa sedikit-sedikit terbantu oleh orang-orang yang ada dalam lingkaranku itu. Setidaknya sampai pada titik dimana pernah gagal, jatuh berkali-kali, menerima hate speech bertubi-tubi,.. tapi ternyata lingkaran yang disebut tadi mulai goyah.
Ada yang benar-benar mendukung. Ada yang benar-benar hanya mengutarakan kata-kata dukungan. Beda, kan? Dari sini aku mulai meraba, ternyata, tidak semua orang open minded dengan segala macam pikiran kita. Tidak semua orang menerima apa pendapat kita. Tidak semua orang bersikap sama terhadap apa yang kita percayai dan suka--padahal aku kira (tadinya) semua orang suka akan hal ini-itu yang aku percayai dan suka. Sampai terheran-heran, "kok ada yang nggak suka sih?!" tapi pada akhirnya kita cuma bisa menghela napas panjang lantas berujar,
"ya ginilah warna yang dikasih sama dia dia yang ada di kehidupanmu"
Selanjutnya, karena pernah sering kehilangan (tidak mendapat sama sekali, sih) dukungan terkait hal-hal yang aku percayai dan suka, krisis kepercayaan diri muncul justru ketika dukungan itu hadir kembali. Susah banget buat bangun lagi. Terus tiba-tiba jadi keheranan sendiri lagi pas muncul dukungan lain dari orang baru. Seneng, sekaligus takut. Lho kok takut? Ya, takut memulai yang pernah dihilangkan sendiri. Setakut itu. Sedrama itu krisis kepercayaan diri yang pernah aku alami. Lebhay ya.
Setelah melewati berbagai fase, setelah jatuh coba bangun lagi, setelah dicaci coba membusungkan dada lagi, setelah dilarang mencoba mencoba lagi. Setelah dibilang nggak baik terlalu sering tampil di depan orang banyak, setelah dibilang tulisanmu bikin sakit mata, setelah dibilang nggak usah main basket lagi ntar cidera lagi. Sedih. Kalau aku bilang disini kita harus tetap semangat dan bla bla bla lainnya, akan sangaaat terdengar klise. Karena orang yang sedang paling terpuruk dalam hidupnya pun tau bahwa dia harus tetap semangat.
Tugasmu sudah bukan hanya memberinya kata-kata semangat. Tapi... dampingi orang yang sedang mengais semangatnya sendiri itu dengan menjaga suasana hati dan kemampuannya mengasah pola pikir.
-ditulis dalam keadaan super menahan tenang, ketika mood tidak karuan. sebagai pengingat diri, dan doa yang diteriakkan kata untuk tetap percaya diri. 16/5, 00.26
Komentar
Posting Komentar