Langsung ke konten utama

Uang, Kebijakan, dan The unpredictable human error. (1)

Pernah denger istilah Uang Kuliah Tunggal (UKT)?
Waktu mau masuk kuliah, aku dibingungkan oleh yang satu ini. Uang apaan sih? Apa bedanya sama SPP? Kok namanya 'tunggal'? Berarti nggak punya saudara apa gimana? Yha.

UKT adalah keseluruhan biaya operasional setiap mahasiswa per semester pada suatu program studi. Semacam bahasa lain dari SPP, tapi dengan rupa dan aturan yang berbeda. Degan adanya UKT ini, maka Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tidak diperbolehkan memungut uang pangkal dan uang pungutan lainnya dari mahasiswa program Sarjana (S1) dan program Diploma mulai tahun ajaran 2013-2014. Seperti yang dikatakan, kebijakan ini sebenarnya baru akan dicanangkan di seluruh PTN di Indonesia raya merdeka ini pada tahun 2013. Namun di tahun awal aku masuk kuliah yaitu 2012, ada beberapa PTN yang memulai duluan untuk menerapkan UKT. Salah satunya adalah PTN tempatku menimba ilmu selama empat tahun terakhir ini.

Sebenarnya kalau dipikir dan dirasakan, UKT ini bagaikan angin segar di awal namun mencekik di akhir. Kenapa? Sebagian besar orang tua nyaris selalu menyiapkan dana yang lebih untuk persiapan anak-anaknya masuk ke jenjang perkuliahan. Dengan dalil setiap masuk ke suatu jenjang pendidikan pasti hampir selalu di tarik uang ini itu--uang gedung, uang kuliah, uang administrasi, sumbangan, dan lain-lain--yang jumlahnya tidak sedikit. Namun, dengan UKT ini kita hanya diwajibkan membayar sejumlah uang yang nominalnya tidak sebanyak yang dikira dan disesuaikan dengan program studi masing-masing. Sebagai contoh, aku masuk jurusan Kesehatan Masyarakat dimana jumlah nominal UKT yang harus aku bayarkan tiap semester adalah Rp 3.500.000,00. Jadi dari awal masuk kuliah, berikut masuk semester 2, 3, 4, dan seterusnya aku hanya wajib bayar sejumlah itu tiap enam bulan sekali. Waktu awal masuk, Bapak agak heran "ini bener cuma bayar 3,5? Ntar ternyata ada uang gedung dan lain-lain gimana?". Dan ternyata memang nggak ada. Kelar. Selesai registrasi mahasiswa baru angkatan 2012 waktu itu hanya bayar UKT satu semester.

Ringan? Jelas, Dengan persiapan yang begitu menguras tabungan orang tua untuk kuliah anaknya, ternyata hanya diminta segitu! Padahal udah ketar-ketir dikira sampai segunung rupiah yang akan ditarik. Maklum, banyak cerita yang mangkir di telinga soal beberapa perguruan tinggi yang memang biayanya nggak sedikit. Jadi persiapannya juga ngga sedikit.

Tapi tunggu, apa nominal segitu pas untuk tiap semesternya?

Setelah melewati berbagai warna-warni perkuliahan, jungkir balik, jatuh bangun, smile and frown, love and hate halah sedikit banyak aku pribadi menilai kecukupan kebutuhan perkuliahan berikut sarana dan prasarananya. Sampai ke kebutuhan praktikum tiap anak dan tiap preparat--apalagi setelah pengalaman jadi asisten praktikum. Belum dengan biaya kegiatan mahasiswanya yang hampir sebagian besar dikelola lewat organisasi-organisasi di kampus. Dibalik itu semua, transisi kebijakan UKT ini menuai banyak isu. Baik buruknya ada semua. Meskipun yang namanya mahasiswa hampir selalu saja melihat buruknya. Jadi apa-apa diprotes. Huft!

Pas atau tidaknya nominal ini untuk tiap semesternya aku kira sudah sangat diperhitungkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing prodi. Sampai ke akar-akarnya. Walaupun tetap saja ada maasiswa yang mau ribet ikut ngitung unit cost UKT ini buat tau sesuai atau enggak. Aku pernah hampir ikut mereka, mengurusi kebobrokan di dalam sistem, tapi kemudian nggak betah dan ndilalah banyak masalah. Aku mundur.

Kalau katakanlah sampai semester 7 kita masih aktif dalam perkuliahan dan tetek bengeknya di kampus, menurutku nominal UKT tidak akan jadi masalah. Namun untuk yang setelah itu hanya tinggal duduk-duduk di sofa lobby nungguin biimbingan dosen, nggak punya bangku kuliah lagi, ke kampus paling poll cuma dua sampai tiga jam, dan sisanya main-main, kayaknya nominal segitu jelas bikin kantong kering. Hehehe..

Kalau katakanlah lagi semua mahasiswa masa studinya tepat 8 semester, jelas nggak akan jadi masalah karena perhitungan UKT mereka tepat. Nominal tiap semester dikalikan jumlah masa studi tepat waktu. Tapi kan we don't know will be will be. Entah karena faktor internal maupun eksternal, akan tetap sangat banyak mahasiswa yang kurang beruntung untuk dapat masa studi tepat waktu. A story short, muncullah kebijakan 'Penyesuaian UKT untuk angkatan 2012'. Jadi disini mahasiswa yang ndilalah mbablas sampai semester 9, bagi yang mau, mengajukan keringanan penyesuaian UKT sebesar 50% dari nominal aslinya. Disitu aku yang termasuk dalam gerombolan anak-anak yang kurang beruntung jelas berbinar-binar dong. Wah lumayan nih, pikirku saat itu. Jadilah aku mengajukan surat permohonan via Dekan Fakultasku.

Seperti birokrasi perkampusan pada umumnya--yeah, aku bilang pada umumnya karena kayaknya emang dimana-mana nggak ada birokrasi yang nggak berbelit-belit--aku melewati berbagai masa dimana harus bolak-balik kantor dekanat, bolak-balik kena semprot, bolak-balik urus berkas yang bolak-balik salah melulu, sampai bolak-balik beli tissue buat ngelap keringet dan air mata. Yha. Kan. Lebay. Alhamdulillah pada akhirnya aku bisa dapet disposisi dari dekan untuk pengajuan proses keringanan UKT ke rektorat.

Selesai? Itu bahkan belum dimulai! Hahaha.

Sekitar awal bulan September proses di dekanat itu selesai. Barulah surat dilayangkan ke rektorat.

(bersambung..)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Mahasiswa Sehat dari Masyarakat

Mahasiswa bukan hanya kata ‘maha’ di depan kata ‘siswa’. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan rakyat biasa, bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat. Karena kedudukannya, mahasiswa sendiri menjadi memiliki banyak peran dalam kehidupan bermasyarakat, tidak terlepas dari bidang mereka masing-masing.

Navigasi

Senin yang ceritanya long weekend kemarin, aku dan bapake bertandang ke suatu tempat untuk tujuan tertentu. Ceritanya dapet kontak orang yang mau dituju di instagram nih. Yaudah aku hubungi lah dia. Setelah menceritakan maksud dan tujuan aku ingin berkunjung, si mbak yang menerima respon kontak memberikan infomasi arah ke alamat tujuan. Ceritanya di bio instagram dia udah ada info lokasi. Tapi cuma nama kecamatannya doang. Kutanya, sebelah mananya ya mba? Beliau bilang, "kalau dari arah kota perempatan pasar belok kiri, mba. nanti ketemu pertigaan, belok kiri lagi. Lurus aja terus nanti mentok nah itu rumahnya pas mentok jalan. Namanya mas ini" Oke, kita ikuti..

Ngeluh sama kerjaan?

Saat itu di suatu pagi dimana aku dapet panggilan wawancara di salah satu kantor cabang BUMN di kota perantauan waktu kuliah, banyak hal yang aku yakini itu skenario epic dari Allah terjadi. Jadwal wawancara jam 10 pagi. Karena waktu tempuh yang lumayan, aku berangkat dari rumah jam 7.30. Jelas sesampai di kota tujuan waktu untuk tiba di kantor masih longgar sekali. Setelah menyelesaikan urusan kekurangan pritilan berkas yang harus dibawa, aku mampir ke satu masjid favorit jaman kuliah. Masih jam 9 kurang sekian menit ketika setelah mengambil air wudhu aku masuk ke pintu jamaah putri. Ada sekitar 3 orang perempuan di dalam. Salah satunya ada di dekat tempatku sholat, sedang melantunkan ayat suci. Ketika selesai ritual dhuha, aku mundur menyenderkan bahu ke tembok belakang. Sambil membenarkan posisi kerudung, mbak-mbak yang baru saja selesai ngaji itu menyapaku, "Kerja dimana mba?".