Basket sudah seperti sahabat saya yang kalau senang atau susah bisa selalu ada, sejak SMP sampai sekarang. Salah satu pembunuh waktu dan pelipur lara ya pergi ke lapangan. Dribel bola, lari, shooting.
Selain memang suka, layaknya anak usia tanggung masuk tim basket sekolah, saya menjadi sedikit congkak karena merasa keren. Latihan rutin, ikut turnamen, juara, ikut tim kabupaten, belum kalau bisa ikut-ikut keluar kota. Selain itu, entah kenapa hal lain yang rasanya bikin keren adalah... kostumnya. Cewek pakai jersey basket, kaki semampai, sepatu dan kaos kaki nanggung, rambut dikuncir kuda melambai-lambai, lari-larian ngejar bola di lapangan. Beeehh!
Begitu masuk SMA saya berkeinginan untuk memakai kerudung. Tepatnya hidayah itu datang sekitar Ramadhan tahun 2009. Tapi, bandelnya saya waktu itu ijin dengan orang tua untuk "..aku pakai kerudungnya kalau sekolah aja dulu ya pah, bu. Kalau basket belum pakai kerudung dulu," ditangkap bapak ibu waktu itu (juga aku) dengan "iyaudah nggak papa, latian (pakai kerudung) dulu"
Semurah itu saya hijrah untuk pakai kerudung dan jadi setengah-setengah. Walaupun memang niatnya latian. Toh nanti ada saatnya kok aku bisa istiqomah, batin saya waktu itu. Sayangnya, bandelnya kelamaan. Apalagi di lingkungan tim waktu itu belum ada yang minimal jadi contoh bisa main basket pakai kerudung. Pemikiran yang lain adalah nanti kalau pakai kerudung bakal nggak bisa pecicilan dong.
Setiap ada yang nanya ketika melihat saya di lapangan tidak seperti saat di kelas, "Loh, kerudungnya mana?" saya hampir selalu menjawab, "nyangkut di ring!"
Selain memang suka, layaknya anak usia tanggung masuk tim basket sekolah, saya menjadi sedikit congkak karena merasa keren. Latihan rutin, ikut turnamen, juara, ikut tim kabupaten, belum kalau bisa ikut-ikut keluar kota. Selain itu, entah kenapa hal lain yang rasanya bikin keren adalah... kostumnya. Cewek pakai jersey basket, kaki semampai, sepatu dan kaos kaki nanggung, rambut dikuncir kuda melambai-lambai, lari-larian ngejar bola di lapangan. Beeehh!
Begitu masuk SMA saya berkeinginan untuk memakai kerudung. Tepatnya hidayah itu datang sekitar Ramadhan tahun 2009. Tapi, bandelnya saya waktu itu ijin dengan orang tua untuk "..aku pakai kerudungnya kalau sekolah aja dulu ya pah, bu. Kalau basket belum pakai kerudung dulu," ditangkap bapak ibu waktu itu (juga aku) dengan "iyaudah nggak papa, latian (pakai kerudung) dulu"
Semurah itu saya hijrah untuk pakai kerudung dan jadi setengah-setengah. Walaupun memang niatnya latian. Toh nanti ada saatnya kok aku bisa istiqomah, batin saya waktu itu. Sayangnya, bandelnya kelamaan. Apalagi di lingkungan tim waktu itu belum ada yang minimal jadi contoh bisa main basket pakai kerudung. Pemikiran yang lain adalah nanti kalau pakai kerudung bakal nggak bisa pecicilan dong.
Setiap ada yang nanya ketika melihat saya di lapangan tidak seperti saat di kelas, "Loh, kerudungnya mana?" saya hampir selalu menjawab, "nyangkut di ring!"
Sampai kuliah, dimana waktu itu saya masuk tim basket fakultas kedokteran unsoed, saya masih belum menutup aurat ketika di lapangan. Bedanya disini saya mulai sedikit tersentil. Salah satu rekan tim ada yang pakai kerudung. Dia tidak bermasalah dengan outfit. Terlebih malah tertutup dengan permainannya yang bagus. Dari situ baru muncul, "Dia aja bisa, masa kamu enggak sih, Ra?"
Tapi, masih saja belum yakin mau berkomitmen.
Semakin waktu berjalan mulai banyak teman-teman yang main basket tetap pakai kerudungnya. Walau ribet sana sini harus ganti lebih lama dan baju dobel-dobel karena harus pakai legging juga manset. Tapi kalau diperhatikan, dengan seperti itu mereka akan terjaga betul dari risiko kulit gosong karena sinar matahari lapangan outdoor. Lagipula panasnya juga nggak jauh beda sama yang nggak berkerudung. Namanya juga olahraga. Pasti keringetan. Bukan hanya karena outfit kita tertutup atau enggak. Bukan hanya karena kita mau terlihat keren di mata orang lain atau enggak. Bukan juga karena anggapan nggak bisa leluasa bergerak (baca: pecicilan).
Awal tahun 2015 menjadi tahun penentu nasib saya di tim fakultas. Ceritanya fakultas kedokteran jadi cerai dengan bala kurawanya seperti Kesehatan Masyarakat yang memang jurusan saya, Gizi, Keperawatan, Farmasi, dan PJKR. Kalau nggak ada peraturan yang mengikat tentang status keberpihakan pemain, sih, saya prefer untuk tetap bersama tim terdahulu. Tapi karena kebetulan saya merupakan satu-satunya anggota tim yang bukan berasal dari jurusan kedokteran, jadi mau nggak mau saya mengundurkan diri. Lalu berambisi membentuk tim dari fakultas baru yaitu FIKes (Fakultas Ilmu Kesehatan).
Jujur memang ada suatu nazar dimana kalau tim baru ini jalan, saya mau benar-benar berubah. Di turnamen perdana bersama tim baru inilah, saya sudah memberanikan diri melengkapi jersey saya dengan legging, manset, dan kerudung. Membuang segala stigma negatif yang pernah muncul di kepala saya jauh-jauh. Mencoba berpikir realistis kenapa Allah memerintahkan umat perempuanNya berhijab. Menjadi harus tidak boleh labil. Seiring memang lama-lama saya mulai sampai di titik risih dilihat orang-orang jadi 'beda'.
bersama tim FIKes di Rektor Cup |
Dulu saya hampir selalu mengelak kalau disindir kenapa kerudungnya nyangkut di ring. Merasa tidak oke kalau jersey saya yang mirip tank-top itu harus dirangkap dengan yang berlengan panjang. Takut nggak bisa lari dengan leluasa karena pakaian yang serba panjang. Takut panas. Takut ribet. Padahal ini perintah dari Yang Maha Mengatur. Dan harusnya memang kita beriman, Dia tidak akan menyusahkan hambaNya yang memang mau mengikuti aturan.
Buktinya, setelah hari dimana saya ke lapangan sudah serba tertutup, saya bisa membawa tim baru mulai dikenal baik oleh tim lawan. Menjadi kapten yang mencoba selalu ada. Bermain sebaik mungkin dan tidak menciderai. Membuktikan kepada khalayak bahwa bermain basket dengan memakai kerudung itu (lebih) keren.
Setiap hijrah memang tidak ada yang mudah.
Komentar
Posting Komentar