Langsung ke konten utama

Rindu candu mati.

Solo Balapan, 15 Agustus 2015.

Adelaide Sky-Adithya Shofyan mengalun. Sedang jam masih di 14.31. 29 menit menuju keberangkatan kembali ke Jogja.
Hai, Solo. Somehow, kota ini jadi yang kedua setelah Jogja yang pernah dan mungkin akan selalu jadi candu yang dirindukan. Dan detik ini aku sedang menghadap sepasang sejoli yang sama-sama pasang headset sedang di cewek bersandar di bahu kiri cowoknya. Hal lain yang buat fokusku terbelah adalah samar tercium wangi parfum orang yang kukenal. Lebih dari kukenal. Yang pernah aku rindukan namun benteng diantara kami terlalu tinggi. Berat.
Ada sepersekian hal yang entah mengapa ingin buatku berkaca-kaca. Sejak semalam aku melemparkan obat rindu untuk adik-adik dan tante di kota ini. Waktu penuh untuk mereka tanpa harus ada jalan-jalan menikmati hiruk pikuk kota. Entah kebetulan atau apa, yang disambangi malah yang lagi butuh pengobatan semua :')
Berat rasanya untuk pulang. Walaupun memang niat awal hanya untuk main sebentar dan 'ngabur'. Terlebih ketika Dek Damar, si bungsu dari Tante Iva ini bilang pingin ikut. Tapi pas dibilang ngga sama Mamah, dia ngambek. Hahaha. Sebelum itu lebih miris lagi. Dek Alice, princess ke-3 Tante Iva tiba-tiba sesenggukan tanpa sebab. Jelas lah jadi bingung. Apalagi detik itu Tante Iva lagi ada perlu keluar. Jadilah aku dan Acha (si sulung) kebingungan menenangkan Alice. Andaikan Ayah mereka masih ada...
Just in case, detik ini saya ingin menangis. Entahlah. Antara sedih, kasian, bersyukur, dan senang bergumul jadi satu. Antara rindu, benci, nostalgi, dan semacamnya juga mengikuti.
Tentang wangi parfum ini yang mengingatkanku akan teman baik yang selalu bercerita soal kematian mantan calon wanitanya. Tentang memori empat tahun lalu saat Om Anto koma karena kecelakaan hebat dan akhirnya meninggal. Tentang kita yang nggak akan pernah tau takdir apa yang setelah ini dihadapkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Mahasiswa Sehat dari Masyarakat

Mahasiswa bukan hanya kata ‘maha’ di depan kata ‘siswa’. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan rakyat biasa, bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat. Karena kedudukannya, mahasiswa sendiri menjadi memiliki banyak peran dalam kehidupan bermasyarakat, tidak terlepas dari bidang mereka masing-masing.

Navigasi

Senin yang ceritanya long weekend kemarin, aku dan bapake bertandang ke suatu tempat untuk tujuan tertentu. Ceritanya dapet kontak orang yang mau dituju di instagram nih. Yaudah aku hubungi lah dia. Setelah menceritakan maksud dan tujuan aku ingin berkunjung, si mbak yang menerima respon kontak memberikan infomasi arah ke alamat tujuan. Ceritanya di bio instagram dia udah ada info lokasi. Tapi cuma nama kecamatannya doang. Kutanya, sebelah mananya ya mba? Beliau bilang, "kalau dari arah kota perempatan pasar belok kiri, mba. nanti ketemu pertigaan, belok kiri lagi. Lurus aja terus nanti mentok nah itu rumahnya pas mentok jalan. Namanya mas ini" Oke, kita ikuti..

Ngeluh sama kerjaan?

Saat itu di suatu pagi dimana aku dapet panggilan wawancara di salah satu kantor cabang BUMN di kota perantauan waktu kuliah, banyak hal yang aku yakini itu skenario epic dari Allah terjadi. Jadwal wawancara jam 10 pagi. Karena waktu tempuh yang lumayan, aku berangkat dari rumah jam 7.30. Jelas sesampai di kota tujuan waktu untuk tiba di kantor masih longgar sekali. Setelah menyelesaikan urusan kekurangan pritilan berkas yang harus dibawa, aku mampir ke satu masjid favorit jaman kuliah. Masih jam 9 kurang sekian menit ketika setelah mengambil air wudhu aku masuk ke pintu jamaah putri. Ada sekitar 3 orang perempuan di dalam. Salah satunya ada di dekat tempatku sholat, sedang melantunkan ayat suci. Ketika selesai ritual dhuha, aku mundur menyenderkan bahu ke tembok belakang. Sambil membenarkan posisi kerudung, mbak-mbak yang baru saja selesai ngaji itu menyapaku, "Kerja dimana mba?".